Takwa yang Sebenarnya Kepada Allah
Takwa Kepada Allah
Ketajaman mata hati dan indra keenam merupakan karomah. Seseorang tidak bisa dengan mudah mencapai karomah jika Allah tidak menghendaki. Karomah itu datangnya dari pemberian Allah. Kemurahan Allah itu dapat dicapai apabila sang hamba bertakwa kepadaNya.
Takwa akan dapat dilakukan dengan baik dan terarah apabila seseorang memiliki ilmunya. Adapun ilmunya adalah memahami apa makna takwa dan sejauh mana amalan yang harus dikerjakan.
Takwa mempunyai makna patuh atau taat. Seseorang yang bertakwa, secara ikhlas ia mematuhi atau mentaati setiap aturan dari Tuhannya.
Takwa berkaitan erat dengan riyadha seseorang yang berniat menempuh jalan sufi secara bersungguh-sungguh dan mempertajam mata batinnya.
Syekh Nashr Abadzi seorang ulama sufi terkenal mendefinisikan takwa. Takwa menurutnya adalah seorang hamba yang tidak takut kepada apa pun kecuali hanya kepada Allah swt. Barangkali takut yang dimaksudkan oleh Nashr bukanlah seperti seseorang yang takut terhadap binatang buas. Takut terhadap binatang buas, memiliki kecenderungan untuk menjauhi atau menghindari. Namun takut dalam kaitannya takwa justru seseorang semakin berusaha mendekat.
Sementara itu, Sahal berpendapat bahwa takwa itu adalah meninggalkan perbuatan dosa. Katanya, “Barangsiapa yang menginginkan agar takwanya benar, maka dia harus meninggalkan semua perbuatan dosa.” Nashr Abadzi menandaskan, “Barangsiapa yang selalu bertakwa, maka dia merasa tidak keberatan meninggalkan duniawi sebagaimana firman Allah swt:
Kampung akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, apakah kamu sekalian tidak berpikir? [QS. Al An’am 32]
Al Washiti mengatakan, “Yang dimaksud takwa adalah orang yang selalu memelihara kepatuhannya.” Sebagian ulama sufi berpendapat, “Orang yang mampu mewujudkan ketaatannya, maka Allah akan memudahkan hatinya untuk berpaling dari kemewahan duniawi.”
Sementara itu, Abu Bakar Muhammad ar-Rudzabari berkata, “Yang dimaksud takwa adalah meninggalkan sesuatu yang dapat menjauhkan diri dari Allah swt.
Dzun Nun al-Mishri, “Yang dimaksud orang bertakwa adalah orang yang tidak mengotori jiwa lahir dengan hal-hal yang bertentangan dan tidak mengotori jiwa batin dengan interaksi sosial. Dalam kondisi demikian, orang itu akan mengadakan kontak dengan Allah dan dapat berinteraksi secara sosial.”
Menurut Ibnu Atha’illah, bahwa takwa itu dapat dikatagorikan menjadi dua bagian, yakni takwa lahir dan takwa batin. Takwa lahir adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang. Sedangkan takwa batin ialah niat dan ikhlas.”
Adapun Hafsh berpendapat, “Takwa harus ditanamkan pada perbuatan yang halal mumi, bukan pada yang lain.” Sementara Abui Husain al-Zunjani berkata, “Barangsiapa yang mempunyai modal takwa, maka berbagai ungkapan sifat buruk akan tertolak. ”
Orang yang bertakwa adalah orang yang taat atau patuh. Di mana saja dan kapan saja akan mengabdi. Jika Allah melarang sesuatu, maka dengan hati ikhlas ia meninggalkannya. Dengan liati gembira, ia akan menjauhinya. Justru hatinya akan bersedih apabila dia terlanjur melakukan larangan Allah. Orang yang bertakwa, tentu taat menjalankan perintahnya. Ketaatan dalam melaksanakan perintah merupakan suatu kesenangan dan kegembiraan. Ia selalu rindu untuk menunaikan perintah-perintahnya. Perbuatan baik merupakan perintah Allah. Maka orang yang bertakwa selalu rindu dan cenderung ingin senantiasa terbuat baik.
Ulama-ulama sufi jaman dahulu sangat berhati-hati terhadap larangan Allah. Sangat berhati-hati menjaga dirinya dari perbuatan buruk. Seperti halnya yang dialami oleh Ibnu Sirrin. Diceritakan, suatu ketika Ibnu Sirrin membeli minyak samin beberapa kilogram. Namun seorang pemuda mengeluarkan tikus dari timbangan itu. Ibnu Sirrin heran. Ia bertanya, “Darimanakah engkau mengeluarkan binatang itu?” Pemuda tersebut hanya menjawab, “Tidak tahu. ” Saking hati-hatinya hasil timbangan minyak samin itu tidak beres khawatir terkena syubhat maka Ibnu Sirrin menumpahkan minyak samin ke tanah. Hal yang sama dialami pula oleh Abu Yazid. Ia pernah membeli minyak wangi di kota Hamdzan. Abu Yazid mendapat kelebihan dari minyak yang dibelinya. Ketika ia pulang ke kota Bustham, yaitu sebuah kota di Khurasan yang terletak pada gugusan lereng pegunungan datar, dia melihat semut di dalam minyak wangi itu. Setelah itu, ia kembali ke Hamdzan dan meletakkan dua semut itu di tempat penjualnya. ”
Demikian hati-hatinya menjaga diri agar tidak terkena dosa, walaupun dosa itu samar para ulama sufi selalu berperilaku baik. Mereka tidak ingin merugikan orang lain. Bahkan tumbuhan atau binatang sekalipun. Diceritakan bahwa suatu ketika Yazid mencuci pakaiannya. Ketika itu ia bersama salah seorang temannya. Temannya berkata, “Pakaian basah ini kita jemur saja dengan menarik tali di dinding dekat pohon anggur itu. ” Mendengar niat temannya itu, Yazid berkata, “Jangan kau meletakkan pasak di atas dinding orang lain.” Temannya bertanya lagi, “Apakah harus kita jemur di atas rumput?” Jawab Yazid, “Jangan. Rumput itu makanan binatang. Kita tidak boleh menutupnya. ” Temannya putus asa, lalu bertanya, “Lalu, dijemur di mana?” Yazid membalikkan badannya dan membongkok. Ia menunjukkan punggungnya dan menghadapkannya ke matahari. “Jemurlah pakaian itu di punggungku! ”
Pernah juga Yazid memasuki sebuah perkampungan. Sebagaimana tradisi di jamannya, setiap lelaki dewasa membawa tongkat. Di suatu tempat, ia istirahat. Ia menancapkan tongkatnya di atas tanah dekat tongkat orang lain. Namun tongkat orang lain tersentuh dan jatuh ke tanah. Pemiliknya memungut dan pergi. Yazid lalu mencari rumah pemilik tongkat dan meminta maaf.
Hal-hal yang oleh orang awwam dianggap sepele, namun penting bagi orang-orang khawwas (orang yang telah menempuh jalan ma'rifat).
|
Membuka Mata Bathin |
|