Meninggalkan Syubhat

Meninggalkan Syubhat untuk Mempertajam Mata Bathin dan Indra Keenam

Subhat


Salah satu dari sekian banyak faktor penyebab tertutupnya mata hati adalah karena terlalu meremehkan syubhat. Syubhat adalah sesuatu yang hukumnya tidak jelas; berada di antara halal dan haram. Karena itu orang-orang sufi lebih memilih untuk meninggalkan syubhat.


Meninggalkan syubhat’ berarti telah menjalankan sifat wara’ (hati-hati). Adapun syubhat, di dalamnya menyangkut aktivitas kehidupan, semisal makan, minum, pakaian, pembicaraan yang berlebihan.


Dalam pandangan sufi, wara’ meninggalkan syubhat merupakan wara’ dalam tingkatan paling dasar. Adapun wara’ pada tingkatan berikutnya ialah meninggalkan apa saja yang menjadi keinginan hati, yang berlebihan, baik berupa benda maupun perilaku. Tingkatan wara’ yang lebih tinggi dari itu ialah meninggalkan segala macam yang tidak bermanfaat.


Hal itu sejalan dengan hadis Rasulullah yang berasal dari Abu Dzar :
 Hadist Nabi Tentang Syubhat


Sebagian dari kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berarti. [HR. Anas dan Imam Malik]


Al Imam ra. juga berpendapat sama, yang dimaksud wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat. Ibrahim bin Adham menguatkan pendapat tersebut, katanya, “Wara’ adalah meninggalkan yang syubhat dan yang tidak pasti (tidak jelas), yakni meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat. ”


Abu Bakar Ash Shidiq ra. berkata, “Kami telah meninggalkan tujuh puluh persoalan yang berkaitan dengan yang halal karena khawatir terkait dengan persoalan haram. ” Diterangkan bahwa Rasulullah saw. pernah menasihati Abu Hurairah ra. “Jadilah orang yang wara’, engkau akan menjadi orang yang paling beribadah di antara manusia.”


As-Sariy menerangkan bahwa pada jamannya, ada empat ahli wara ’ yaitu Hudzaifah al Mar’asyi, Yusuf bin Asbath, Ibrahim bin Adham dan Sulaiman al Khawash. Masing-masing memiliki pandangan yang sama tentang wara’. Ketika mereka menjumpai berbagai persoalan yang sulit, mereka mampu meminimalkan. ” As Syibli berkata “Wara’ merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah swt. ”


Sikap wara’ dibedakan menjadi tiga tahapan. Pertama, meninggalkan sesuatu yang hukumnya belum jelas. Kedua, meninggalkan hal-hal yang diperbolehkan namun dikhawatirkan akan jatuh pada hal-hal yang dilarang. Ketiga, menjauhkan diri dari sesuatu yang menyebabkan lupa kepada Allah.


Hal-hal yang tidak bermanfaat dan segala yang bersifat pribadi maupun sesaat, pada dasarnya merupakan nafsu yang bersifat duniawi. Ketika seseorang meninggalkan segala yang bersifat duniawi tersebut maka ia telah sampai pada maqam zuhud.


Ishaq bin Khalaf berkata, “Wara’ dalam filosofi lebih hebat daripada emas dan perak. Zuhud dalam ilmu kepemimpinan lebih hebat daripada keduanya. Oleh karena itu, engkau dapat mengalahkan keduanya dalam mencari kepemimpinan. ”


Bagi orang-orang sufi, sikap wara’ dapat mendatangkan kebahagiaan tersendiri. Kebahagiaan itu sampai-sampai disebut ‘nikmat’. Yahya bin Muadz berkata, “Barangsiapa yang belum menikmati lezatnya wara’, maka dia belum pernah menikmati pemberian Allah.”


Yunus bin Ubaid berpendapat bahwa yang dimaksud wara’ adalah menghindari syubhat dan segala bentuk arah pandangan (pujian). Sementara Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara’, kecuali meninggalkan sesuatu yang keruh di dalam diri.”


Diterangkan bahwa Malik bin Dinar adalah orang yang sebelumnya kaya raya. Hidupnya bergelimang harta. Namun kemudian ia menempuh jalan sufi. Harta kekayaannya diinfaqkan untuk perjuangan Islam. Malik bin Dinar puas dengan hidup sederhana. Baginya, kekayaan hanyalah hiasan duniawi yang hanya akan membutakan hati. Selama empat puluh tahun tinggal di Basrah. Konon, ia tidak pernah makan buah kurma, baik kering maupun yang masih basah. Ketika musim panen selesai, dia berkata, ’’Wahai penduduk Basrah, inilah perutku yang belum pernah merasakan kekurangan dan kelebihan. ” Maksudnya, bahwa ia ingin memberi contoh hidup sederhana dan wara’.


Wara’ merupakan sikap yang harus dimiliki dan diterapkan dalam kehidupan sufi. Tanpa wara’, seseorang dikhawatirkan tergelincir pada dosa. Kehati-hatian dalam bersikap dan mengambil keputusan adalah sesuatu yang utama. Syubhat adalah perkara yang samar, sehingga oleh mereka hal itu benar-benar dihindari. Diterangkan bahwa Harits al-Muhasibi pernah mengulurkan ta-ngannya.untuk mengambil makanan syubhat, tiba-tiba ujung jarinya berkeringat sehingga dia sadar bahwa makanan tersebut tidaklah halal.”


Pandangan orang sufi terhadap sesuatu yang halal dan mumi ialah, sesuatu yang halal dan digunakan untuk mengabdi kepada Allah swt. Sahal bin Abdullah pernah ditanya demikian. Dia menjawab, “Barang yang dipergunakan bukan untuk bermaksiat kepada Allah swt. atau bukan untuk melupakan Allah swt. ”


Wara’ dianggap pula sebagai kebesaran agama. Hal itu pernah dinyatakan oleh putra Ali bin Abi Thalib ketika memberi nasihat kepada orang banyak di dekat Ka’bah. Waktu itu hadir pula Hasan al-Bashri. Mendengar keterangan itu, Hasan al-Bashri bertanya, “Apakah kebesaran agama itu?” Putra Ali menjawab, “Wara”. Ditanya lagi, “Penyakit agama itu apa?” Dijawabnya, “Tamak. ” Hasan Bashri sangat kagum terhadap kata-kata itu sehingga ia berkomentar, “Berarti timbangan sebiji wara’ yang mumi lebih baik daripada timbangan seribu puasa dan sha-lat. ”


Abu Hurairah ra. berkata, “Orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah swt. akan dikumpulkan dengan orang-orang yang wara’ dan zuhud kelak di hari kiamat. ” Sahal bin Abdullah berkata, “Orang yang tidak pernah bergaul dengan orang wara’, ibarat orang yang makan kepala gajah tetapi tidak pernah merasa kenyang.”


Abu Ustman al-Mariri pernah ditanya seseorang tentang wara’. Ia tidak menerangkan pengertian wara’, tetapi justru menceritakan seseorang yang bernama Abu Shahih Hamdun. Tanya orang itu, “Abu Shahih Hamdun kenapa?” Abu Ustman kemudian menceritakan bahwa suatu ketika Abu Shahih Hamdun, seorang tukang penatu, berada di samping temannya yang sedang sekarat. Lalu temannya itu meninggal dunia. Abu Shahih Hamdun tiba-tiba meniup nyala api sehingga lampu ruangan menjadi mati. Mengapa ia mematikan lampu? Abu Shahih Hamdun menjawab, “Sampai sekarang minyak yang dipergunakan lampu itu masih tersisa. Sisa minyak itu hak ahli waris si mayit. Sebaiknya pergunakan minyak yang lain saja! ” Abu Utsman menyimpulkan bahwa sikap Abu Shahih Hamdun itulah yang disebut wara’. Saking hati-hatinya, sampai-sampai sisa minyak lampu tidak dipergunakan, karena dianggap sebagai harta warisan buat anak dan istri si mayat.


Cermin wara’ juga ditemukan dalam cerita bahwa seseorang menangis sedih karena merasa berdosa yang sulit untuk ditebus. Padahal, menurut pandangan orang awam, dosanya itu sepele. Dalam pengakuannya ia berkata, “Sungguh, aku telah berbuat dosa selama empat puluh tahun lalu. Suatu hari, aku kedatangan saudaraku. Ia kuberi jamuan makan dengan ikan bakar. Selesai makan, dia ingin membersihkan bau ikan yang melekat di tangannya. Aku kemudian keluar rumah untuk mengambil pasir di pekarangan tetanggaku. Pasir itu untuk menggosok tangan saudaraku agar bau amisnya berkurang. Akhir-akhir ini aku menyadari bahwa meskipun hanya segenggam pasir, tetapi merupakan suatu dosa membebani hatiku. Bukankah pasir itu milik orang lain. Sedangkan hingga sekarang aku belum pernah bertemu pemiliknya untuk minta maaf. ”


Inilah orang-orang yang wara’ dalam menempuh kehidupannya. Mereka berusaha menjaga dosa, sekecil apa pun. Seperti halnya tokoh wanita sufi yang sangat terkenal, Rabi’ah Adawiyah.

Dia menjahit pakaiannya yang telah robek di bawah cahaya lampu milik raja. Ketika menjahit, hati nuraninya berbisik bahwa penerang yang digunakannya itu bukan berasal dari lampu miliknya, tetapi lampu milik orang lain. Menggunakan hak orang lain tanpa ijin adalah suatu dosa. Maka Rabi’ah Adawiyah tersadar dan merobek jahitannya kembali.
Riyadha
Membuka Mata Bathin
Amanah

Postingan populer dari blog ini

HINDARI BERAMAL DEMI MENCARI POPULARITAS

Keagungan dan Keindahan Ilahi | Menundukan Diri Sendiri | Wasiat dari Wali Allah Syeh Abdul Qadir Al-Jailani

Ketika Anda Terhalang Mengenal Allah

Arti Kesehatanmu

Etika Bisnis