Qanaah

 Pengertian Qanaah

Qanaah adalah puas dengan apa yang diterimanya. Menurut pendapat ulama sufi bahwa qanaah adalah sikap tenang karena tidak ada sesuatu yang dirisaukan. Sementara Bisyr al-Hafi berpendapat, bahwa Qanaah ibarat raja yang tidak mau bertempat tinggal kecuali di hati orang beriman. Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Kedudukan qanaah adalah permulaan rela, sedangkan wara’ adalah zuhud.”

Abu Bakar al-Maraghi mengatakan, “Orang yang berakal sehat adalah orang yang mengatur urusan dunia dengan sikap qanaah dan memperlambat diri, mengatur urusan akhirat dengan ilmu dan ijtihad.” Abu Abdillah bin Khafif, “Qanaah adalah meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan menganggap cukup dengan sesuatu yang ada. ”

Sesungguhnya qanaah itu, melatih jiwa menjadi lapang dada dan mengekang nafsu dari sifat rakus terhadap duniawi. Sedangkan rakus terhadap duniawi adalah sesuatu yang sangat dihindari oleh orang-orang sufi.

Orang yang ingin menjaga hati dari sifat rakus dan berlebih-lebihan, maka ia wajib melatih jiwanya dengan qanaah. Sebab orang yang qanaah, ia merasa puas dengan pemberian Allah. Ini bukan berarti ia tidak berikhtiar dan duduk menunggu sedekah dari orang lain. Pengertian qanaah ialah di samping seseorang berikhtiar untuk mencari nafkah bagi kehidupannya, namun ia tetap memelihara. Ketika hasil dari ikhtiar itu didapatkannya, maka ia merasa cukup. Sifat inilah yang membangkitkan rasa syukur kepada Allah. Inilah kehidupan yang ‘baik’ di dunia, dan selamat di akhirat.

Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia beriman, niscaya Kami berikan dia dengan kehidupan yang baik. [QS. An Nahl 97]

Kata-kata ‘kehidupan yang baik di dunia’ sebagian ahli tafsir mengartikan qanaah. Yaitu sebuah harta simpanan yang tidak ternilai harganya. Dikatakan demikian karena orang yang qanaah lebih ‘kaya hatinya’ dibandingkan orang kaya harta tetapi rakus. Orang yang kaya raya di dunia, memiliki kedudukan yang tinggi, namun hatinya menjadi sempit jika tidak qanaah. Sebaliknya, meskipun seseorang tampak seperti hidup serba pas-pasan atau bahkan miskin, namun jika ia puas dengan apa yang diterimanya dari Allah, maka dadanya menjadi lapang.

Hamba Allah selamanya tidak akan bisa bersyukur jika hatinya tidak qanaah. Abu Hurairah ra. menerangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:


Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi ahli ibadah. Jadilah orang yang qanaah, maka engkau akan menjadi orang ahli bersyukur. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai diri sendiri maka engkau akan menjadi orang mukmin yang baik. Berbuatlah baik kepada tetanggamu, maka engkau akan menjadi orang Islam yang baik. Sedikitlah tertawa karena banyak teratwa akan mematikan hati. [HR. Baihaqi]

Dalam pandangan tasawuf bahwa orang kafir itu meskipun hidup namun sesungguhnya mereka mati. Sama halnya orang yang hidup hanya memanjakan hawa nafsunya belaka, ia dianggap ‘mati’. Mati yang dimaksudkan bukanlah mati raganya, tetapi mati hatinya; mati jiwanya. Sedangkan seseorang dapat dikatakan sebagai ‘orang hidup’ jika hatinya mendapat kemuliaan dari Allah berupa qanaah.

Sebagai hamba seharusnya berserah diri, patuh dan taat terhadap kehendak Allah. Begitu pula dalam urusan rejeki yang di-berikanNya. Allah memberi rejeki, maka seharusnya seseorang menerima dengan senang hati. Tetapi jika ia menerima dengan merasa tidak puas, berarti ia tidak berserah diri, tidak patuh dan tidak taat kepadaNya. Seorang sufi yang menempuh jalan hakikat, haruslah berserah diri dan menghamba kepada Allah dengan qanaah. Menurut Muhammad bin at-Turmidzi, bahwa qanaah adalah jiwa yang rela terhadap pemberian rejeki yang telah ditentukan.

Justru orang yang selalu tidak puas, maka ia akan senantiasa merasa kekurangan. Namun orang yang qanaah, jiwanya menjadi tenang dan mensyukuri rejeki dari Allah. Wahab mengatakan, “Kemuliaan dan kekayaan akan berkeliling mencari teman. Jika mereka telah menemukan qanaah, maka mereka akan menetap. ” 

Selain berlatih untuk merasa bersyukur dengan apa yang telah diterima, hendaknya seseorang suka memberi dan menolong orang lain. Betapa, hati akan merasa puas apabila seseorang berhasil memberi pertolongan (membantu) sesama saudaranya. Karena orang yang dianggap qanaahnya sempurna ialah jika ia gemar menolong dengan ikhlas hati. Dan inilah kebiasaan orang-orang sufi dalam menapaki jalan menuju ma'rifatullah. Meskipun secara lahiriah, mereka memiliki kekayaan yang sedikit namun gemar bersedekah. Mereka mencontoh akhlak Rasulullah. 

Melatih diri untuk berqanaah tidak akan berhasil jika seseorang tidak melemahkan sifat buruknya, yaitu sifat rakus. Karena itu, Ibrahim al-Marastani berfatwa, “Balaslah kerakusanmu dengan qanaah, sebagaimana engkau membalas musuhmu dengan qishash. ” 

Orang sufi, walaupun menjaga hati dari cinta dunia, ia wajib mencari nafkah dengan bekerja. Namun hendaknya dalam menghadapi hasil pekerjaannya ia merasa puas dan bersyukur. Jika bisa melatih demikian, maka hati akan menjadi tenang. Lebih merasa tenang lagi jika ia rela memberikan sebagian rejekinya itu untuk orang lain.

Postingan populer dari blog ini

HINDARI BERAMAL DEMI MENCARI POPULARITAS

Keagungan dan Keindahan Ilahi | Menundukan Diri Sendiri | Wasiat dari Wali Allah Syeh Abdul Qadir Al-Jailani

Ketika Anda Terhalang Mengenal Allah

Arti Kesehatanmu

Etika Bisnis