Menjaga Lidah

Jika seseorang ingin mata batinnya awas dalam memandang yang gaib, maka hendaknya menjaga lisan. Melatih untuk menahan keinginan berbicara yang tidak perlu. Melatih mencegah berbicara yang mengandung maksiat. 
 Menjaga Lidah

Menurut pandangan sufi, lidah merupakan sumber dari kemaksiatan (dosa). Karena dari lidah seseorang bisa berbicara apa saja, misalnya marah, memaki, membicarakan orang lain, menghasut, dan lain-lain. Namun di sisi lain, ia juga merupakan sarana untuk mencari kebaikan, misalnya untuk menasihati orang lain, mengucapkan lafal-lafal wirid dan lain-lain. Bergantung siapakah yang memiliki lidah. Oleh karena itu ‘diam’ merupakan riyadha yang harus dilalui oleh penempuh jalan sufi.

Hujjatul Syekh Imam Al Ghazali berkata, “Lidah termasuk kenikmatan dari Allah yang agung dan termasuk ciptaanNya yang halus dan istimewa. Sesungguhnya lidah itu kecil bentuknya, tetapi besar ketaatannya dan besar pula kemaksiatannya. Sebab kejelasan antara kufur dan iman itu dapat dipahami dengan persaksian lidah. Padahal kuiur adalah puncak durhaka dan iman adalah puncak taat.”

Selanjutnya, Imam Ghazali berpendapat, “Lidah mempunyai jalan yang luas dalam mencari kebaikan dan mempunyai ekor yang dapat ditarik dalam berbuat kemaksiatan. Barangsiapa melepaskan kemanisan lidah dan membiarkan terlepas talinya, pasti setan berjalan dengannya pada setiap tempat dan menggiringnya ke tepi jurang yang menjatuhkan sehingga memaksanya terjerumus kepada kebinasaan. ”

Oleh karena sangat bahayanya lidah, maka Rasulullah bersabda, “Barangsiapa diam, maka dia pasti selamat. ” Dalam riwayat lain diterangkan pula, “Diam itu keteguhan, tetapi sedikit orang yang melakukannya. ”

Seorang sahabat (Ayah Abdullah bin Sufyan) bertanya kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasul, beritahukanlah kepadaku mengenai Islam dengan sesuatu yang tidak lagi aku bertanya tentang itu kepada seseorang.” Maka Rasulullah saw. bersabda: 
 Hadis Tentang Menjaga Lidah

Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah ”, kemudian beristiqamalah!.

Sahabat tersebut bertanya lagi, “Apakah yang harus kupeli-hara?” Rasulullah menjawab dengan memberi isyarat tangannya menunjuk lidahnya.

Uqbah bin Amir bertanya, “Wahai Rasul, apakah keselamatan itu?” Rasulullah saw. menjawab:

Tahanlah lidahmu, hendaklah rwnahmu memberi kelapangan bagimu dan menangislah atas kesalahanmu. [HR. At Tur-mudzi]

Hadis dari Sahl bin Saad as Saidi menerangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa menanggung bagiku apa yang di antara janggutnya dan kedua kakinya (kemaluan), niscaya aku akan menjamin baginya surga. [HR. Bukhari]

Dari Anas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa menjaga dari kejahatan qabqabnya, dzabdzabnya dan laqlaqnya pasti ia telah menjaga dari kejahatan semuanya. [HR. Abu Mansur ad-Dailami]

Qabqab artinya perut, dzabdzab artinya kemaluan, dan laqlaq artinya mulut atau lidah. Ketiganya menyimpan syahwat (keinginan) yang membuat kebanyakan manusia jadi celaka.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah pernah ditanya tentang sebesar-besar apa yang memasukkan seseorang ke dalam surga. Maka beliau menjawab:
“Takwa kepada Allah dan berakhlak mulia. ”

Rasulullah saw. ditanya pula tentang sebesar-besar apa yang memasukkan seseorang ke dalam neraka. Maka beliau menjawab:

Dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan. [HR. At Turmudzi]

Yang dimaksudkan mulut adalah bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh lidah. Sebab mulut itu adalah tempat lidah. Dan mungkin yang dimaksudkan dengan mulut, bisa juga bermakna perut karena mulut sebagai jalan masuk makanan.

Dalam riwayat lain, berasal dari Abdullah ats-Tsaqafi bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, ceritakanlah kepadaku tentang sesuatu hal yang dapat kupakai buat pegangan.” Maka Rasulullah saw. menjawab:

“Katakanlah: Tuhanku adalah Allah! Kemudian beristi-qamalah. ”lalu aku bertanya, “Wahai Rasul, apakah yang paling engkau khawatirkan terhadapku?” Maka beliau saw. memegang lidahnya seraya berkata, “Ini!” [HR. An Nasai]

Diriwayatkan bahwa Muadz bertanya, “Wahai Rasulullah, amal perbuatan apakah yang paling utama?” Rasulullah saw. mengeluarkan lidahnya dan memegang dengan jarinya. [HR. Ath Thabarani].

Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

Tidaklah istiqamah iman hamba hingga istiqamah hatinya. Dan tidak istiqamah hatinya hingga istiqamah lidahnya. Dan tidak masuk ke dalam surga, orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya. [HR. Ibnu Abid Dun-ya dan Al Kharaithi]
Barangsiapa ingin selamat, hendaklah ia diam.

Dari Abu Hurairah ra. diterangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah jangan menyakiti tetangga. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamu. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata dengan baik atau diam. [HR. Bukhari]

Dari beberapa dalil, baik Al Qur'an maupun hadis Nabi, nyatalah bahwa lidah itu sangat berbahaya. Oleh karena itulah seorang yang menempuh jalan sufi hendaknya berlatih untuk menahan syahwat (keinginan) berbicara yang tidak penting. Lebih baik diam, karena diam itu merupakan dasar keselamatan.

Imam Qusyairy berkata, “Diam ditetapkan oleh syara’, perintah dan larangan. Sedangkan diam pada saat-saat tertentu adalah sifat para pemimpin, sebagaimana ungkapan bahwa bicara pada tempatnya termasuk perilaku yang baik. ”

Diam yang dimaksudkan ialah terhadap hal-hal maksiat. Jika seandainya berbicara, maka menimbulkan dosa. Tetapi jika terhadap kebenaran, tetapi diam, maka hal itu bukanlah sikap seorang muslim. Hal ini diutarakan oleh Abu Ali ad-Daqaq, “Barang-siapa yang mendiamkan kebenaran, maka dia ibarat setan yang bisu.”

Orang yang arif adalah yang pandai mendengarkan orang bicara. Sedangkan orang dungu adalah orang yang pandai berbicara tetapi tidak pandai mendengarkan nasihat orang lain. Maka diam dan memperhatikan (mendengarkan) kebenaran merupakan akhlak yang baik. Al Qur'an memerintahkan agar diam dan mendengarkan ketika ayat dibaca.

Jika Al Qur'an dibaca, hendaklah didengarkan dan diperhatikan agar kamu sekalian mendapat rahmat. [QS. Al A’raf 204]

Menurut Imam Qusyairy, diam itu dapat dibagi menjadi dua yaitu diam secara lahir dan diam secara batin. Orang yang bertawakal maka hatinya selalu diam (tenang) dengan meninggalkan berbagai tuntutan materi. Sedangkan orang yang ma’rifat hatinya akan selalu diam (tenang) dengan mempertemukan ketetapan hukum melalui sikap yang baik.

Pembicaraan kadang-kadang menyebabkan diri sendiri menjadi kagum, sehingga terbersit rasa sombong atau ujub. Kadang-kadang pula ingin agar orang lain memujinya, sehingga timbul riya’. Oleh karena itu Bisyr bin Harits memperingatkan, “Jika bicaramu membuatmu kagum, sebaiknya engkau diam.”

Dalam tradisi sufi, diam tidak sebatas diam dalam arti menutup mulut saja. Namun harus diam mulut dan diam hati. Orang yang pendiam belum tentu diam, karena hatinya ramai oleh berbagai pikiran tentang duniawi. Sampai-sampai dikatakan bahwa belumlah dikatakan seseorang itu taubat jika ia belum mampu diam. Maksud diam, adalah bersandar diri atau bertawakal kepada Allah. Mimsyad ad-Dunawari berkata, “Ahli hikmah akan mewariskan ilmu hikmahnya dengan diam dan akal pikiran. ”

Abu Bakar al-Farisi pernah ditanya tentang diamnya hati. Dia menjawab, “Meninggalkan kesibukan masa yang telah lampau dan masa yang akan datang,”

Orang sufi lebih memilih berbicara dengan Tuhannya daripada dengan orang lain yang tidak membawa manfaat. Berbicara dengan sesama seringkali menimbulkan dosa karena lidah dipengaruhi oleh hawa nafsu. Sedangkan berbicara dengan Tuhan tentu selalu baik dan bermanfaat; tidak mengandung maksiat. Karena itu Muadz bin Jabal berkata, “Berbicaralah dengan orang lain seminimal mungkin dan berbicaralah dengan Tuhanmu sebanyak mungkin, agar hatimu dapat ‘melihat’ Tuhan. ”

Menjaga diri dari maksiat, erat kaitannya dengan menjaga mulut dari mengumbar bicara. Dzun Nun pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling mampu menjaga dirinya?” Jawabnya, “Orang yang benar-benar dapat menjaga mulutnya. ”

Ibnu Abbas berpesan dengan lima nasihat. Pertama, hendaknya seseorang tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak begitu penting bagi dirinya. Sesungguhnya kata-kata yang tidak perlu itu juga tidak aman dari maksiat. Jangan pula berbicara tentang sesuatu yang penting tetapi tidak pada tempatnya. Materi pembicaraan memang penting namun tidaklah tepat. Sehingga banyak orang celaka karena yang demikian itu. Kedua, hendaknya seseorang jangan berdebat dengan orang yang murah hati dan orang bodoh. Karena orang yang murah hati akan membenci dan orang bodoh akan menyakiti. Ketiga, hendaknya seeorang memaafkan temannya yang pergi dan menyebutnya dengan kata-kata yang disenangi. Keempat, hendaknya seseorang bergaul dengan temannya, dengan cara yang dia suka. Kelima, hendaknya berbuat dengan sesuatu yang baik.

Dapat disimpulkan bahwa orang yang mampu menjaga lidahnya, maka ia akan selamat dari dosa dan kejahatan lisannya. Dia akan menjadi arif (ma’rifat). Keadaan yang demikian inilah yang memudahkan diri untuk membuka hijab keajaiban.
Qanaah
Membuka Mata Bathin
Berserah Diri

Postingan populer dari blog ini

HINDARI BERAMAL DEMI MENCARI POPULARITAS

Keagungan dan Keindahan Ilahi | Menundukan Diri Sendiri | Wasiat dari Wali Allah Syeh Abdul Qadir Al-Jailani

Ketika Anda Terhalang Mengenal Allah

Arti Kesehatanmu

Etika Bisnis