Berserah Diri
Berserah diri kepada Allah seolah-olah seperti mayat adalah tawakal. Tawakal merupakan jalan yang harus ditempuh oleh orang beriman. Dalam kesufian, tawakal adalah anak tangga yang harus didaki sehingga seseorang bisa sampai ke puncak ma'rifatullah. Jika seseorang telah mencapai maqam ma’rifat maka terbukalah hijab keajaiban. Ia mampu menggunakan mata batinnya untuk kebaikan. Tanpa tawakal, tak mungkin penempuh jalan sufi dapat mencapai maqam tertinggi.
Tawakal adalah istilah dari kata dasar wakala, yang secara umum dimaknai sebagai sikap menyerah kepada kehendak Allah tanpa melakukan tindakan apa pun.
Menurut Ibn Faris, bahwa tawakal berarti mengandalkan pihak lain berkenaan dengan urusan yang seharusnya menjadi tanggungjawab pihak yang mengandalkan. Sekarang pertanyaannya, siapakah yang diandalkan? Tentu saja Allah Yang Maha Kuasa atas semua hambaNya. Di dalam Al Qur'an diterangkan, “Dan Dia adalah menjadi wakil atas segala sesuatu.”
Dalam ayat lain diterangkan pula:
Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niaka Dia akan mencukupinya (memeliharanya). [QS. Ath Thalaq 3]
Hanya kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal [QS. Ali Imran 160]
Bertawakal kepada Allah berarti menjadikan Dzat Yang Maha Benar sebagai wakil. Tetapi janganlah disamakan ‘wakil’ tersebut sebagaimana seseorang mewakilkan kepada sesama manusia. Jika seseorang mewakilkan sesuatu kepada saudaranya, maka ia menyerahkan segala sesuatu kepada yang mewakili. Dia tidak perlu lagi melakukan sesuatu dan tinggal menunggu hasilnya. Namun dalam konteks Allah sebagai ‘wakil’ menurut Al Qur'an, masih diperlukan keterlibatan manusia sebagai pihak yang mewakilkan urusannya kepada Allah. Seseorang masih dituntut untuk melaksanakan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Abu Yazid berpendapat, “Seandainya ada hewan buas atau ular berbisa berada di dekatmu namun engkau tidak berbuat apa-apa, maka hal itu mendekati tawakal. Tetapi tawakal yang sebenarnya adalah berusaha untuk menghindar atau mencari cara agar terlepas dari terkamannya. ”
Orang yang bertawakal bukan berarti menyerahkan diri kepada Allah, apakah dia masuk neraka atau surga. Terhadap urusan ini, manusia sendiri yang berhak menentukan. Artinya, jika ia menghendaki masuk surga maka haruslah menempuh jalan yang menyebabkan dia masuk surga. Begitu pula sebaliknya. Tidak mungkin Allah sewenang-wenang memasukkan hambaNya yang jahat ke surga dengan begitu saja.
Namun menurut Sahal bin Abdullah, “Permulaan tempat dalam penyerahan diri adalah seorang hamba harus berada di hadapan Allah sebagaimana mayat yang berada di hadapan orang yang memandikannya. Ia dapat dibolak-balikkan sekehendak hati mereka. Tidak ada gerakan dan tidak ada perlawanan. ” Sedangkan menurut Hamdun al-Qhasar, yang dimaksud tawakal adalah berpegang teguh kepada Allah.
Tawakal tersebut bukan dalam bentuk lahiriah. Sebagai hamba Allah, wajib untuk berikhtiar karena di dunia ini berlaku qadr. Artinya, secara lahiriah, manusia wajib berikhtiar, baik dalam mencari nafkah untuk penghidupan maupun mengupayakan diri menjadi bertaat kepada Allah. Mustahil, seseorang ingin mendapatkan surga jika dirinya tidak berikhtiar menempuh jalan kebaikan. Jika demikian, maka tawakal dapat pula diartikan sebagai penyerahan diri kepada Allah pada hasil akhir. Ketika seseorang sudah berikhtiar untuk berbuat baik dan beramal taat, maka urusan pahala diserahkan kepada Allah. Ketika seseorang telah berikhtiar untuk mencari nafkah, hasil akhirnya tergantung Allah. Inilah yang disebut tawakal.
Diterangkan bahwa Anas bin Malik mengatakan: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. dengan mengendarai unta. Dia bertanya, “Wahai Rasul, apakah unta ini kutinggalkan begitu saja dan kemudian aku bertawakal?” Rasulullah saw. menjawab, “Ikatlah dan bertawakallah!”
Kata-kata “Ikatlah!” mengandung makna sebagai usaha atau ikhtiar. Jika seseorang sudah berikhtiar untuk mengamankan untanya, kemudian binatang itu terlepas atau dicuri, maka hal itu sudah dalam wilayah urusan Allah.
Namun jika seseorang membiarkan untanya begitu saja tanpa diikat kemudian terlepas, maka hal itu bukanlah tawakal. Sama halnya jika seseorang ingin mendapatkan surga tetapi enggan meninggalkan maksiat. Atau seseorang khawatir dirinya masuk neraka namun tidak berusaha untuk menjadi baik dan taat.
Rasa ragu-ragu juga menjadi penghalang seseorang untuk bertawakal. Karena orang tawakal haruslah didahului dengan ikhtiar, tetapi hatinya yakin (tidak ragu-ragu) untuk menyerahkan hasil akhir kepada pihak yang ditunjuk sebagai wakil; yaitu Allah. Oleh karena itu, suatu ketika Ibnu Atha’ ditanya tentang tawakal. Dia menjawab, ”Keragu-raguan tidak akan muncul dalam dirimu yang menyebabkan engkau susah. Oleh karena itu, engkau selalu memperoleh hakikat ketenangan menuju pada kebenaran yang engkau tempuh.”
Bertawakal kepada Allah (menjadikan Allah sebagai wakil) bukan berarti setiap sesuatu diserahkan kepadaNya tanpa berusaha sama sekali. Bukan berarti seseorang tidak berusaha atau bahkan mengabaikan qadr. Bertawakal kepada Allah berarti seseorang harus meyakini bahwa Allah sebagai Dzat yang mewujudkan segala sesuatu di alam ini, mengharuskan orang yang bertawakal kepadaNya untuk menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan ‘kehendak dan ketentuan qadrNya atau ketentuanNya’. Sebab dengan menjadikan Allah sebagai wakil, orang terlebih dahulu harus menyadari bahwa pilihan Allah adalah pilihan terbaik. Manusia diwajibkan berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan qadr-Nya, dan menerima hasilnya sebagaimana kehendak dan ketentuan Allah dengan rela hati.