Ilmu Batin dengan Dzikir - Iradah - Istiqamah serta Malu

Dzikir - Iradah - Istiqamah dan Malu

Dzikir Jika kamu melihat surga, maka merumputlah di kebunnya. Ditanya, Apa itu kebun surga?"Jawab Rasulullah, "Majelis Dzikir.” [H R. AtTurmudzi]

Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah dengan ingatan yang banyak. [QS. Al-Ahzab 41]
Dalam hadis dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Ingatlah, aku akan memberitaku kalian tentang sebaik-baik amal kalian, paling sucinya amal kalian di sisi Raja kalian, paling tingginya amal kalian dalam tingkatan beberapa derajat, dan paling baik pemberiannya daripada emas dan perak. Jika kalian bertemu musuh-musuh kalian, maka kalian memukul leher-leher mereka dan mereka (membalas) me­mukul leher-leher kalian. ” Para sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah saw. bersabda:

Hari kiamat tidak akan datang atas seseorang yang mengucap­kan: Allah, Allah. [HR. Muslim]

Dalam hadis Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. ber­sabda:
Kiamat tidak akan terjadi di bumi ini, hingga tidak ada orang yang mengucapkan Allah, Allah. [HR. At Turmidzi]

Dzikir adalah syarat rukun yang paling kuat dalam perjalanan seseorang menuju Tuhannya; menuju al-Haq. Bahkan kebera­daannya merupakan tiang. Tidak akan sampai seseorang menuju Allah kecuali dengan istiqamah dalam berdzikir.

Dzikir dibagi menjadi dua, yaitu dzikir lisan dan dzikir hati. Dzikir lisan bagi seorang hamba yang menggunakan caranya akan mengantarkannya pada kedaan istiqamah untuk berdzikir v hati. Dzikir lisan ini punya pengaruh pada dzikir hati. Jika hamba berdzikir dengan lidah dan hati secara sekaligus maka dia adalah seorang ahli dzikir yang sempurna dalam sifat dan keadaan laku spiritualnya.

Abu Ali ad-Daqaq berkata, “Dzikir menyebarkan kewalian. Barangsiapa menetapi dzikir, maka dia dianugerahi penyebaran dan jika dia mencabut dzikirnya, maka penyebaran kewalian di­cabut darinya. ”
Muhammad al-Wasithi pernah ditanya tentang dzikir. Maka ia menjawab bahwa dzikir adalah keluar dari medan kelengahan menuju kepastian musyahadah yang mampu mengalahkan tekanan ketakutan dan tarikan rasa cinta.

Dzun Nun al-Mishri berkata, “Barangsiapa ingat Allah de­ngan ingatan sesuatu di sisi ingatanNya (dzikir kepada Allah), dan Allah akan menjaganya dari segala sesuatu. Baginya punya pengganti dari segala hal.”
Suatu ketika Abu Ustman ditanya seseorang dalam masalah dzikir. “Wahai Abu Ustman, aku telah berdzikir kepada Allah, namun aku tidak mendapatkan kenikmatan di dalam hati kami.” Maka Abu Ustman berkata, : Pujilah Allah agar menghiasi di antara luka-lukamu dengan ketaatan.”

Dalam hadis yang mashur, yaitu berasal dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Jika kamu melihat surga, maka merumputlah di kebunnya. ” Ditanya, “Apa itu kebun surga?” Jawab Rasulullah, “Majelis Dzikir. ” [HR. At Turmidzi]

Jabir bin Abdullah menceritakan bahwa pada suatu hari Rasulullah keluar menuju para sahabat dan bersabda:

“Wahai manusia, merumputlah kalian di kebun surga. ” Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasul, apakah kebun surga itu?” Rasulullah menjawab, “Majelis Dzikir. Kalian makan pagilah (dengan dzikir), makan sore dan berdzikir. Barang- siapa cinta kepada Allah, maka pandanglah bagaimana ke­dudukan Allah di sisinya (di hatinya). Sesungguhnya Allah turun pada hamba menurut turunnya hamba di sisiNya. ” [HR. At Turmidzi]
Dalf Asy-Syibli mengatakan, “Tidakkah Allah telah menga­takan, Aku duduk di sisi orang yang mengingatKu. Apa yang ka­lian peroleh, wahai manusia dari majelis al-Haq ini?”

Dzikir itu mempunyai keistimewaan-keistimewaan. Di antaranya ialah ia tidak dibatasi oleh waktu. Bahkan tidak ada waktu kecuali seorang hamba diperintahkan berdzikir, baik yang bersifat wajib atau sunat. Shalat meskipun kedudukannya sebagai ibadah yang paling mulia, namun dalam waktu-waktu tertentu tidak boleh dilaksanakan. Sedangkan dzikir boleh dilaksanakan sepanjang masa dan di mana saja.
Orang-orang yang mengingat (dzikir) Allah, baik dengan berdiri, duduk, dan (atau) berbaring. [QS. Ali Imran 191]

Suatu ketika Syekh Abu Abdurrahman bertanya kepada Abu Ali ad-Daqaq, “Lebih mulia manakah berdzikir atau berpikir?”
Abu Ali ad-Daqaq heran, “Ada apa dengan pikiranmu?”

Jawab Asy Syekh Abu Abdurrahman, “Bagiku, dzikir lebih sempurna daripada berpikir. Karena Dzat Al-Haq disifati dengan dzikir, tidak dengan pikir. Sesuatu yang menjadi sifat asli al- Haq adalah lebih sempurna daripada sesuatu yang dikhususkan oleh makhluk sebagai sifat al-Haq.” Dan Abu Ali ad-Daqaq tersenyum membenarkan pendapat temannya itu.

Kata Muhammad al-Kattani, “Seandainya tidak ada keten­tuan yang menyatakan bahwa dzikir kepadaNya adalah kewajiban terhadapku, maka pasti aku tidak akan mengingatNya sebagai pengagungan kepadaNya. Seperti aku mengingatNya.”

Dalam sebuah hadis diterangkan bahwa suatu ketika Jibril mendatangi Rasulullah saw. dan menyampaikan firman Allah, “Aku (Allah) memberi umatmu sesuatu yang belum pernah Ku berikan kepada umat lain, karena itu ingatlah (berdzikirlah) ka­lian, maka Aku pasti mengingatmu.”
Di dalam sebagian kitab-kitab agama, Musa as. pernah ber­tanya kepada Tuhan, “Wahai Tuhan, di manakah Engkau ber­ada?” Jawab Tuhan, “Di hati hambaKu yang beriman.”

Maksudnya ialah amalan dzikir yang menetap di dalam hati - karena Allah swt. bebas dari segala hal yang bersifat menetap, berubah atau berpindah. Dia menetapkan dzikir dan mewujud­kannya dalam hati.
Sahal bin Abdullah berkata, “Tiada hari selain Dzat Yang Maha Agung memanggil-manggil ‘Wahai hambaKu, kamu tidak pernah berbuat adil terhadapKu. Engkau memohon. kepadaKu, tetapi engkau pergi dariKu. Aku menghilangkan musibah darimu, tetapi engkau memikul beban-beban kesalahan. Wahai anak Adam, apa yang kamu katakan besok ketika datang kepadaKu?”

Sesungguhnya di surga itu terdapat lembah yang subur . Ketika seorang ahli dzikir melakukan dzikir, para malaikat menanami pohon-pohon di lembah itu. Ketika sebagian malaikat berhenti, ditanyakan kepada mereka, “Mengapa kamu berhenti mena­nam?” Lalu dijawab, “Kawanku (ahli dzikir) membuat badanku lemah dan payah. (Karenadia berhenti berdzikir).”

Kenikmatan yang hilang dapat dicari dalam tiga hal, yaitu di dalam shalat, di dalam dzikir dan di dalam membaca Al Qur­an. Jika dari ketika amalan itu tidak diketemukan, pertanda bahwa terdapat hijab antara seseorang dengan Allah. Pertanda belum terbukanya mata batin untuk menyingkap suatu keajaiban.
Barangsiapa yang tidak pernah merasakan kerasnya lupa, maka ia tidak merasakan manis dan nikmatnya berdzikir.

Sariy As-Saqthi berkata, “Dalam sebagian kitab disebutkan: Jika mengingatKu lebih menguasai hambaKu, berarti dia rindu kepadaKu yang membuat Aku rindu kepadaNya.”
Sariy menambahkan, “Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud as. : BersamaKu bergembiralah dan dengan mengingatKu bersenang-senanglah. ”

Iradah

Barangsiapa yang tidak mempunyai kehendak terhadap sesuatu, maka dia tidak mungkin bisa melakukannya.
Iradah adalah usaha konsentrasi (memusatkan pikiran) kepada Allah sebagai riyadha (latihan) menuju kesem­purnaan tauhid. Konsentrasi itu bukan kehendak diri seseorang melainkan karena kehendak Allah swt.
Sementara itu sebagian ulama sufi memberi batasan bahwa iradah adalah meninggalkan apa yang telah menjadi suatu ke­biasaan. Kebiasaan manusia pada umumnya adalah terpaku pada hukum yang tampak (aktualisasi/segi lahiriah) di tempat-tempat yang membuatnya lupa, percaya terhadap ajakan syahwat, dan cenderung mengikuti apa yang dibisikkan oleh harapan (angan- angan). Sedangkan seseorang yang ingin mempertajam mata hati, haruslah melepaskan diri dari semua itu. Hal-hal semisal panjang angan-angan dan menurutkan hawa nafsu harus lenyap dari dirinya.

Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridhaanNya. [QS. Al An’am 52]
Hadis berasal dari Anas bin Malik diterangkan bahwa Rasullullah saw. bersabda:

“Jika kami menghendaki seorang hamba dengan kebaikan, maka dia dipekerjakan (dengan kebaikan itu). ” Seorang sa­habat bertanya, “Bagaimana dia dipekerjakannNya, ya Rasul?” Jawab Rasulullah saw. “Diberi pemahaman agar mampu melaksanakan (prinsip agama) sebelum mati. ” [HR. At Turmidzi]
Seorang guru sufi bertutur, “Suatu hari aku berada sendirian di sebuah dusun yang sunyi. Tiba-tiba dadaku terasa sempit hingga mendorong lidahku untuk mengucapkan, ‘Wahai manusia, bicaralah kepadaku! Wahai jin, bicaralah kepadaku!’ Tiba-tiba sebuah suara tanpa bentuk menyahutiku, ‘Apa yang kamu kehen­daki?’ Aku menjawab, ‘Allah Yang kukehendaki.’ Dia kembali bertanya, ‘Kapan kamu menghendaki Allah?”
Dapat diambil kesimpulan bahwa seharusnya begitulah keri­sauan orang menghendaki terbukanya hijab keajaiban; hijab an­tara dirinya dengan Allah. Hatinya selalu tidak tenang sepan­jang siang dan malam. Ia senantiasa bermujahadah (berjuang melawan hawa nafsu) agar keinginannya dapat diraih.

Istiqamah

Istiqamah artinya berkesinambungan, tidak berubah- ubah, atau tidak terputus-putus. Istiqamah dalam menem­puh riyadha (latihan ruhani) harus tetap dilakukan oleh orang yang mendambakan ketajaman mata hati. Istiqamah adalah sesuatu yang menyebabkan kebaikan menjadi sempurna. Dengan istiqamah berbagai kebaikan akan terwujud. Orang yang tidak istiqamah dalam ibadahnya maupun dalam riyadha, maka ia lak akan dapat mencapai kehendaknya. Perjuangannya untuk mendapatkan ketaja­man mata batin dan menyingkap tabir keajaiban, menjadi gagal di tengah jalan.

Dan janganlah kamu seperti perempuan yang menguraikan benang-benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi tercerai berai. [QS. An Nahl 92]

Jika seseorang telah menapaki latihan dan menemukan jalan kebaikan, maka hendaknya dipertahankan agar tidak terputus atau berkurang. Barangsiapa yang tidak istiqamah dalam menetapi sifat kebaikannya, maka dia tidak akan bisa memperbaiki dan me­ningkat dari satu maqam ke maqam berikutnya. Ia tidak akan bisa mempertegas perilakunya mengarah kepada kepastian ke­baikan. Karena itu istiqamah merupakan syarat ulama bagi sese­orang untuk menempuh perjalanan sufi.

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah, ” kemudian mereka meneguhkan (pendirian me­reka), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (mem­peroleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. ” [QS. Fushilat 30]
Dari Tsauban ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

Seseorang yang sudah berhasil menyatukan hatinya di sisi Allah dan berhasil membuka tabir keajaiban, hendaknya tetap dipelihara. Jangan sekali pun diputus atau dikurangi. Ibnu Atha’ berpesan, “Istiqamalah kalian dalam penyatuan kesendirian hati dengan Allah.”

Abu Ali ad-Daqaq juga berpesan, “Jadilah engkau sebagai manusia yang mampu berisitiqamah, dan jangan sibuk mengha­rapkan karamah. Dirimu selalu bergerak dalam pencarian karamah, sedangkan Tuhanmu menghendaki engkau tetap dalam istiqamah.”

Bagi orang yang masih awam dalam menjalani riyadha, maka istiqamah memang dirasa berat. Karena hanya orang yang berjiwa besar yang mampu melakukannya. Istiqamah membutuhkan pem bebasan diri manusia dari harapan-harapan dan angan-angan. Membutuhkan pembebasan diri manusia dari kebiasaan atau adai. Sebab berdiri tegak di hadapan Allah memang harus didasari oleh hakikat kebenaran.

Istiqamah dalam kata-kata ialah meninggalkan kebiasan berbisik-bisik membicarakan keburukan orang lain. Istiqamah dalam perbuatan ialah dengan meninggalkan bid’ah. Dalam ama­lan maka istiqamah berbentuk tidak meninggalkan atau tidak menangguhkan perbuatan mulia.

Al Junaid berkata, “Saya pernah bertemu dengan seorang pemuda dibawah pohon raksasa di daerah pedalaman. Pemuda ini merupakan salah seorang murid sufi yang sedang menjalani laku bathin. Dia sedang duduk di bawah pohon besar.

“Apa yang membuatmu duduk di sini?” tanya saya.
“Mencari hal yang hilang.”
Saya pun berlalu dan meninggalkannya. Ketika pulang dari haji, saya mendapatkan pemuda tadi berpindah tempat didekat pohon.
“Apa yang membuatmu pindah (dari pohon semula)?”
“Saya menemukan apa yang saya cari ternyata ada di tempat ini. Karena itu, saya pindah dan menetap di sini.”

Kemudian al -Junaid berkata, “Saya tidak tahu mana yang le­bih mulia. Apakah tetapnya karena pencarian suatu hal yang hi­lang atau tetapnya pada suatu tempat yang di dalamnya diperoleh apa yang dikehendakinya. ”

Malu

Ilmu yang terbesar adalah rasa segan dan rasa malu. Jika keseganan dan rasa malu hilang maka tidak ada kebaikan yang tersisa di dalamnya.
[Ibnu Atha’]
Malu adalah sesuatu yang dapat mencegah seseorang dari hal-hal yang membahayakan bagi dirinya. Dorongan rasa malu bagi orang yang menempuh jalan sufi ialah keteguhan hati karena memiliki ilmu atau akhlak. Buah dari malu adalah aman dari kebencian, aman dari siksaan, dan ringan dalam menghadapi hisab.
Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat seluruh perbuatannya? [QS. Al ‘Alaq 14]
Rasulullah saw. bersabda:

Malu termasuk sebagian dari iman.

Orang mendambakan kedekatan hatinya dengan Allah dan ingin terbukanya tabir keajaiban, hendaknya menanamkan ayat tersebut di atas. Hendaknya yakin bahwa Allah senantiasa me­ngawasi. Sehingga jika berbuat buruk karena dorongan hawa nafsu, nuraninya segera mencegah.

Diterangkan bahwa suatu hari Rasulullah saw. memberi na­sihat kepada para sahabatnya:
“Hendaknya kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu. ” Para sahabat berkata, “Sesungguhnya kami telah merasa malu, wahai Nabi Allah. Kami bersyukur kepada Allah. ” Rasulullah saw. bersabda, “Bukan demikian, namun orang yang malu kepada Allah dengan malu yang sebenar- benarnya adalah orang yang menjaga kepalanya dan apa yang terekam di dalamnya menjaga perut, dan apa yang di­kumpulkannya; dan ingatlah kalian pada kematian dan kepada bencana. Barangsiapa menghendaki kampung akhirat, maka tinggalkanlah perhiasan dunia. Barangsiapa mampu menger­jakan demikian, maka sesungguhnya dia telah malu kepada Allah dengan kebenaran rasa malu. [HR. At Turmidzi]

Ibnu Atha’ menyatakan, ilmu yang terbesar adalah rasa segan dan rasa malu. Jika keseganan dan rasa malu hilang, maka ti­dak ada kebaikan yang tersisa di dalamnya.

Dzun Nun al-Mishri berkata, “Rasa malu adalah kondisi dan suasana rasa segan di dalam hati bersamaan dengan keter­lepasan yang berlalu darimu menuju kehadirat Allah. ” Dikatakan pula, “Cinta adalah berbicara, rasa malu adalah diam membisu, dan takut adalah rasa gelisah. ”

Abu Sulaiman ad-Darani mengatakan bahwa Allah berfir­man, “Wahai hambaKu sesungguhnya engkau tidak malu kepada- Ku; menjadikan bumi lupa pada dosa-dosamu, menghapuskan keteledoranmu dari kitab catatan ama; dan tidak akan memperma­salahkan hasil hitungan amalmu pada hari kiamat. ”

Diterangkan dalam hikayat, ada seorang lelaki yang shalat di luar masjid. Kemudian ia ditanya, “Mengapa tidak shalat di dalam masjid 'saja?” Lelaki itu menjawab, “Sesungguhnya aku malu masuk rumahNya karena aku sering bermaksiat kepadaNya.”

Seorang ulama sufi menceritakan pengalamannya. Suatu ke­tika ia bersama teman-temannya melakukan perjalanan jauh. Mereka kemalaman di tempat yang menakutkan karena di sana merupakan sarang binatang buas. Namun mereka menjumpai seorang lelaki tidur di bawah sebuah pohon. Sedangkan kudanya ditempatkan dekat kepalanya.

Salah satu di antara mereka mencoba membangunkannya karena takut akan keselamatannya.
“Wahai saudara, bangunlah!” ujar mereka. Lelaki itu terba­ngun.
Salah seorang dari kelompok sufi itu penasaran, “Apakah engkau tidak takut tidur di tempat yang cukup membahayakan?”

“Memangnya mengapa?” tanya lelaki itu tenang.
“Tempat ini sarang binatang buas yang dapat mengancam nyawamu.”
Dengan tenang, ia menjawab, “Yang kutakuti hanyalah Allah. Karena itu, aku malu jika aku takut terhadap makhlukNya,” ujarnya lalu kembali tidur.

Malu itu ada beberapa macam, misalnya malu karena pelang­garan sebagaimana Adam alaihis salam. Ditanya, “Apakah kamu akan lari dari Kami?” Namun Adam menjawab, “Tidak, bahkan malukepadaMu.” Inilah malu yang harus dimiliki oleh orang beriman. Karena kebanyakan manusia, jika malu justru ia meng­hindar.
Malu bisa juga disebabkan merasa memiliki kekurangan, sebagaimaan dikatakan para malaikat, “Maha Suci Engkau, tidak­lah kami dapat menyembahMu sebenar-benar penyembahan.”

Malu karena pengagungan, sebagaimana malaikat Israfil ke­tika mengenakan sayapnya karena malu kepada Allah. Ada juga bentuk malu karena kemuliaan sebagaimana Rasulullah saw. yang malu pada umatnya yang hendak meminta mereka keluar (dari acara undangan perjamuan), akan tetapi beliau malu me­ngatakan, maka Allah berfirman, “... dan janganlah kalian terlalu asyik memperpanjang percakapan. ”

Al Junaid ditanya tentang malu. Ia menjawab, “Malu ialah jika memandang perbuatan baik masih kurang sempurna dan se­akan-akan merasa buruk. ” Dengan demikian, akan ada peningka­tan untuk menuju ke arah yang lebih baik.
Pengertian Shidiq
Membuka Mata Bathin

Postingan populer dari blog ini

Mujahadah

HINDARI BERAMAL DEMI MENCARI POPULARITAS

Arti Kesehatanmu

Etika Bisnis