Khusu' dan Tawadhu'
Khusyu’ ialah mencari keselamatan untuk kebenaran. Yakni kebenaran dari Allah semata. Adapun tawa-dhu’ adalah rendah diri atau tunduk (menyerahkan diri) demi kebenaran dan meninggalkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Jika seseorang mampu melatih jiwanya, niscaya mata batinnya menjadi tajam dan indra keenam menjadi sangat peka.
Oleh karena itu orang-orang sufi senantiasa menempuh jalan khusyu’, karena dapat membuka hijab antara dirinya dengan Allah. Tanpa kekhusyu’an, dzikir dan wirid menjadi melayang bagaikan asap tak berbekas. Tanpa khusyu’ shalat yang dikerjakan hanyalah merupakan kesibukan. Kesibukan shalat orang yang tak khusyu’ ialah ramai dengan gerakan lahiriah dan ucapan-ucapan yang sebatas lafal-lafal belaka. Khusyu’ adanya di dalam hati yang memancar pada perilaku. Orang yang tajam mata batinnya, ketika shalat ia bisa khusyu’ dan seolah-olah berdialog langsung dengan Tuhannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa tanda-tanda orang khusyu' adalah jika ia disakiti, dibenci atau diusir, dia menerima dengan lapang dada. Namun sebagian yang lain berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan khusyu’ adalah orang yang mampu memadamkan gejolak syahwat, mampu mengendalikan emosi, mampu memberikan pencerahan hati, sehingga saluran anggota tubuh menjadi tenang.
Adapun tawadhu’ (rendah diri) ialah kebalikan dari sombong. Namun ada pula ulama yang memahami bahwa tawadhu' sama dengan khusyu'. Junaid berkata, “Yang dimaksud khusyu' adalah rendah hati karena Allah swt.” Dia menyitir ayat, “Hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan tenang (tidak sombong). [QS. Al Furqan 63].
Sedangkan Abu Ali ad-Daqaq menafsiri ayat tersebut, “Yang dimaksud dengan ayat itu adalah orang-orang yang tawadhu’ dan khusyu'.”
Hadis riwayat Al Bazzar dari Anas, menerangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Kebaikan bagi orang yang mau merendahkan dirinya, tidak karena kemiskinannya. Dan kebaikanlah bagi orang yang membelanjakan hartanya, di mana harta itu tidak dikumpul-kumpulkannya dari perbuatan maksiat, ia berbelas-kasih kepada orang yang hina dan orang miskin dan mau bergaul dengan ahli fiqh dan ahli hikmah. [HR. Ath Thabarani]
Dari Abu Salamah al-Madini dari ayahnya dari neneknya, ia berkata: Rasulullah saw. pernah bersama kami di masjid Quba. Ketika itu ia sedang berpuasa. Kami membawakan segelas susu untuk berbuka. Ketika ia mengangkat gelas itu, ia merasakan susunya. Ia dapati rasa manisnya madu. Lalu ia bertanya, “Rasa apakah ini?” Kami menjawab, “Wahai Rasul, kami masukkan madu sedikit ke dalamnya.” Kemudian Rasulullah saw. meletak kan gelas itu seraya bersabda yang artinya: Sesungguhnya aku tidak mengharamkan madu. Barangsiapa merendahkan diri karena Allah, pasti dia diangkat kemuliaannya oleh Allah. Barangsiapa yang sederhana, pasti dikayakan oleh Allah. Dan barangsiapa yang berbuat tabd&r (boros), pasti dijadikan miskin oleh Allah. Barangsiapa banyak berdzikir (mengingat) Allah, pasti Dia akan mencintainya. [HR. Ath Thabarani]
Rasulullah saw. memberi contoh kepada para sahabatnya, bagaimana ia bersikap lemah lembut dan rendah hati kepada siapa pun. Justru dengan sikap itu, ia tidak menjadi hina tetapi kemuliaannya semakin tinggi.
Umar ra. berkata, “Sesungguhnya jika hamba merendahkan diri karena Allah, niscaya Dia mengangkat hikmahnya. Dan malaikat yang mengurusi hikmah berkata: Bangunlah dari jatuhmu, niscaya kamu diangkat oleh Allah!”
Aisyah ra. berkata, “Sesungguhnya kamu semua melupakan ibadah yang utama, yaitu tawadhu" (merendahkan diri).”
Yusuf bin Asbath ra. berkata, “Akan dibalas sedikitnya sifat wara’ dari banyaknya amal perbuatan. Dan akan dibalas sedikitnya rasa tawadhu' dari banyaknya ijtihad (berusaha).”
Al Fudhail bin Iyadh ra. pernah ditanya tentang makna tawadhu' . Ia menjawabnya, “Hendaknya engkau tunduk dan mematuhi kebenaran. Meskipun mendengar kebenaran itu dari anak kecil, hendaknya engkau terima. Jika kebenaran itu dari orang yang paling bodoh, maka hendaknya kebenaran itu pun engkau terima. ”
Ibnu Mubarak berpendapat, “Pokok dari tawadhu’ adalah hendaknya engkau menempatkan dirimu di sisi orang yang berada di bawahmu pada kenikmatan dunia. Sehingga engkau mengetahui bahwa tidak ada bagimu tentang duniawi yang melebihi mereka. Hendaknya engkau angkat dirimu dari orang yang berada di atasmu dalam masalah duniawi, sehingga engkau mengetahui bahwa tidak ada baginya atas dunianya melebihi dirimu.”
Qatadah bin Da’amah al-Bashri berkata, “Barangsiapa yang telah diberi harta benda, kecantikan rupa dan pakaian, atau ilmu, kemudian ia enggan merendahkan dirinya, maka yang demikian itu menjadi bencana baginya di hari Kiamat.”
Ka’bul Akhbar berkata, “Allah tidak memberikan nikmat kepada seseorang di dunia, kemudian ia mau mensyukurinya dan ia merendahkan diri dengan nikmat itu, kecuali Allah akan memberi nikmat yang bermanfaat di dunia dan mengangkat kemuliaannya di akhirat. Allah tidak memberi nikmat kepada seseorang di dunia kemudian ia enggan mensyukurinya dan enggan merendahkan diri, kecuali Allah akan mencegah manfaat dari nikmat itu di dunia, dan dibukakanlah ia satu tingkat pintu di neraka. Di mana ia akan disiksa bersama nikmat yang diterima. ”
Abdul Malik bin Marwan ditanya tentang siapakah manusia paling utama. Maka ia menjawab, “Orang yang merendahkan diri dari kekuasaannya, orang yang berbuat zuhud dari kesenangan dan orang yang meninggalkan pertolongan dirinya sendiri dengan adanya kekuatan.”
Diterangkan bahwa suatu ketika Ibnu Samak berkunjung ke rumah Harun al-Rasyid. Ia berkata, “Wahai amirul mukminin, sesungguhnya tawadhu'mu pada kemuliaanmu (kedudukanmu) itu lebih mulia dari kemuliaanmu itu sendiri.” Maka Harun al-Rasyid berkata, “Alangkah indahnya kata-kata yang kau ucapkan, wahai Ibnu Samak.”
Ibnu Samak berkata lagi, “Wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya ketika seseorang mendapat anugerah keindahan bentuk, mendapat anugerah kemuliaan, harta benda di tangannya, lalu ia mau memelihara keindahan rupanya, memberi pertolongan orang lain dengan hartanya dan mau merendakan diri karena kedudukannya, maka ia akan ditulis pada diwan Allah (mahkamah Allah) termasuk orang yang mumi dari wali-waliNya. ” ’
Diterangkan bahwa suatu ketika Yunus bin Ubaid, Ayyub as-Sakhtiani dan Hasan al-Bashri membicarakan tentang tawa-dhu'. Hasan al-Bashri kemudian berkata kepada mereka, “Tahukah kalian tentang tawadhu’? Tawadhu" adalah jika kalian keluar rumah, kemudian di jalan bertemu dengan sesama muslim, lalu engkau merasa ia mempunyai kelebihan dibandingkan dirimu sendiri.”
Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Sesungguhnya Allah azza wa Jalla memperhatikan hati manusia. Maka tidak didapati hati yang lebih tawadhu' kecuali hatinya Nabi Musa alahis salam. Allah kemudian mengkhususkan ia di antara mereka dengan gelar al-Kalam (kalamullah).
Diterangkan bahwa Yunus bin Ubaid baru saja pulang dari Arafah. Ia berkata, “Aku tidak meragukan rahmat Allah yang telah diberikan kepada mereka. Jika aku tidak bersama mereka, maka aku takut bahwasanya mereka terhalang dari rahmatNya disebabkan dosaku.”
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri ra. bahwa Rasulullah saw. adalah orang yang sangat tawadhu'. Ia pernah memberikan makanan kepada unta, menyapu rumahnya, menjahit sandal sendiri, menambal pakaian sendiri, menggembala kambing, makan bersama-sama dengan pelayannya, atau seringkah menggoreng ikan. Rasulullah saw. tidak merasa malu dengan semua itu.
Bahkan ia tidak merasa canggung membawa barang belanjaannya dari pasar ke rumah. Ia tidak bangga berjabat tangan dengan orang kaya, dan tidak malu berjabat tangan dengan orang miskin. Jika ia berjumpa dengan siapa saja, tidak malu mengucapkan salam terlebih dahulu. Jika diundang ia selalu menghargainya dan berusaha untuk mendatanginya. Maka inilah cermin akhlak tawa-dliu'..
Yahya bin Muadz berpendapat, “Tawadhu' adalah suatu kebaikan yang dapat dilakukan oleh semua orang. Namun lebih utama jika dilakukan oleh orang kaya. Sombong adalah keburukan yang dapat dilakukan oleh semua orang. Tetapi lebih buruk jika dilakukan oleh orang miskin.”
Diceritakan bahwa suatu ketika Zaid bin Tsabit mengendarai kuda. Tiba-tiba Ibnu Abbas -kemenakan Nabi- mendekatinya lalu memegang tali kekang hewan itu dengan sikap hormat (menunduk). Zaid merasa tidak enak dengan sikap Ibnu Abbas itu. Ia berkata, “Wahai putra paman Rasulullah, lepaskanlah tali kekang itu! ” Namun Ibnu Abbas tidak mau melepaskannya, “Seperti inilah kami diperintah untuk berbuat baik (tawadhu' dan sopan) kepada ulama kami.” Zaid cukup cerdik. Ia segera melompat dari kuda dan merebut tangan Ibnu Abbas lalu menciumnya, seraya berkata, “Dan .... beginilah kami diperintah untuk berbuat baik kepada keluarga Rasulullah.”
|
Membuka Mata Bathin |
|