Pengertian Shidiq dalam Islam

Pengertian Shidiq

Pengertian Shidiq
Add caption
Orang yang benar adalah yang mempersiapkan Kematiannya dan dia tidak akan malu jika rahasia pribadinya terungkap (diketahui orang). [Abu Said al Qurasyi]
Shidiq artinya benar. Pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu bagi orang yang banyak atau sangat banyak kebena­ran. Maksudnya, orang yang shidiq ialah yang kehidupannya banyak didominasi oleh nilai-nilai kebenaran. Paling rendah tingkatan shidiq ialah kesamaan bagi seseorang, antara yang rahasia dan yang tampak.

Orang yang shidiq dinamakan shadiq, yaitu pelaku kebenaran. Shadiq, memiliki kebenaran dalam setiap perilaku, hati dan uca­pannya. Sementara ash-shidiqqi adalah orang yang benar dalam setiap ucapan, perbuatan dan keadaannya.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. [QS. Ath Taubah 119]
Dalam hadis Abdullah bin Mas’ud diterangkan bahwa Rasu­lullah saw. bersabda:

Seorang hamba senantiasa berbuat benar dan selalu benar hingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar; dan se­seorang senantiasa berbuat bohong dan selalu berbohong hingga ditulis di sisi Allah sebagai pembohong. [HR.Abu Dawud]

Asy-Syekh berkata, “Shidiq adalah tiang segala hal. Dengan shidiq, sesuatu menjadi sempurna. Di dalamnya, segala sesuatu tersusun rapi. Kebenaranlah yang mengiringi tingkat derajat ke­nabian. Allah berfirman:
Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shidiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih. [QS. An Nisa’ 69]
Ahmad bin Khadrawih berkata, barangsiapa menginginkan Allah senantiasa bersamanya, maka tetaplah dalam kebenaran. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang benar. ”
Al Junaid menyatakan, orang yang benar dalam sehari akan mengalami pembolak-balikan empat puluh kali. Sedangkan orang yang riya’ dalam empat puluh tahun tetap dalam satu keadaan.
Abdul Wahid bin Zaid mengatakan, kebenaran adalah peme­nuhan hak Allah dengan perbuatan. Sementara Sahal bin Abdullah menyatakan, hamba yang mencium bau dirinya (nafsunya) atau lainnya tidak akan mencium bau kebenaran.

Orang yang benar adalah yang mempersiapkan kematiannya dan dia tidak akan malu jika rahasia pribadinya terungkap (diketa­hui orang). Demikian kata Abu Said al-Qurasyi.

Abu Amr az-Zujaji adalah seorang yang dikenal shidiq. Ia mendapat warisan sebuah rumah dari ibunya. Setelah ibunya meninggal dunia, rumah itu dijualnya sehingga ia mendapatkan uang lima puluh dinar. Ia lalu berangkat haji. Ketika sampai di kota Babil, ia bertemu dengan seorang lelaki ahli pengairan. Lelaki yang menunggang kuda itu bertanya, “Apa yang kau bawa?”

Dengan jujur dan benar Abu Amr menjawab, “Uang lima pu­luh dinar.”
“Serahkan kepadaku uang itu! ”

Abu Amr menyerahkan bungkusan uang tersebut. Lelaki itu lalu menghitungnya dan memang ditemukan uang lima puluh di­nar. Lelaki itu tidak jadi mengambil, melainkan mengembalikan lagi kepada Abu Amr.

“Ambillah uangmu ini. Kebenaranmu/kejujuranmu lebih ber­arti bagiku daripada uang lima puluh dinar,” ujarnya.

Lelaki itu turun dari kudanya lalu memberikan kepada Abu Amr. “Ambillah dan naikilah kendaraan ini. Aku akan mengikuti jejakmu.
“Aku tidak menginginkan,” ujar Abu Amr.
“Harus!” katanya tegas.
Dan lelaki tersebut kemudian berguru kepada Abu Amr az- Zujaji.
Al Junaid juga berpendapat bahwa ada tiga hal yang tidak bisa disalahkan, yaitu orang yang benar yang merasakan manisnya kehadiran al-Haq, rasa segan karena penghormatan kepada Allah, dan cahaya taat yang membias pada wajahnya. Dikatakan pula bahwa Allah pernah mewahyukan pada Nabi Dawud as. “Wahai Dawud, barangsiapa membenarkanKu dalam kerahasiannya, ma­ka Aku pasti membenarkannya di hadapan para makhluk di dalam suasana yang terang.”    .
Dikisahkan, bahwa suatu ketika Ibrahim bin Dauhah dan Ibrahim bin Satanabbah al-Badiyah hendak melakukan perjalanan. Menjelang berangkat, tiba-tiba Ibnu 'Satanabbah berkata kepada Ibrahim bin Dauhah, “Buang dan lemparkan semua yang kamu bawa, yang membuatmu bergantung kepadanya! ”

Ibrahim bin Dauhah membuang semua bekal yang hendak dibawanya, kecuali dinar.
Namun Ibnu Satanabbah berkata lagi, “Wahai Ibrahim, janganlah kamu menyibukkan yang tersembunyi. Buang apa saja yang ada padamu, yang membuat engkau bergantung kepadanya! ’

Ibrahim bin Dauhah pun melempar uang dinarnya. Namun Ibnu Satanabbah masih berkata, “Wahai Ibrahim, buang apa yang bersamamu, yang membuat engkau bergantung kepadanya! ”
Semua bekal dan uang dinar telah dibuangnya. Apalagi yang diminta Ibnu Satanabbah untuk membuangnya. 
Ibrahim berusaha mengingat-ingat barang apa kiranya yang masih tersisa atau melekat pada dirinya. Akhirnya Ibrahim menemukan seutas tali sandal japit. Maka seutas tali itu dibuangnya sekalian. Mereka pergi tanpa membawa apa-apa. Harapannya hanya bergantung kepada Allah. Melihat Ibrahim, maka Ibnu Satanabbah berkata, “Beginilah orang yang bekerja pada Allah dengan kebenaran.”
Dzun Nun al-Mishri berkata, “Kebenaran adalah pedang Allah. Tidak ada sesuatu pun yang ditempatinya kecuali diputus­nya. ”
Ubudiyah
Membuka Mata Bathin
Dzikir dan Istiqamah

Postingan populer dari blog ini

Ilmu Batin dengan Dzikir - Iradah - Istiqamah serta Malu

Mujahadah

HINDARI BERAMAL DEMI MENCARI POPULARITAS

Arti Kesehatanmu

Etika Bisnis