Taubat Nasuha Berkaitan Dengan Membuka Mata Bathin
Langkah Pertama yang harus di lakukan oleh seorang yang ingin mempertajam mata batinnya adalah bertaubat.
Putar MP3
Ayo bro dengerin Ceramah !!!
Ketahuilah bahwa orang-orang salafus sufi (ulama sufi di jaman dahulu), mudah meraih karomah, mudah memberdayakan mata batinnya untuk memandang keajaiban. Yang mana orang-orang awam (manusia umum) tidak mampu melakukannya. Hal tersebut karena mereka para sufi memiliki ilmu. Dengan ilmunya, mereka melakukan riyadha-riyadha (latihan-latihan) dalam beribadah. Sehingga jarak antara dirinya dengan Allah SWT sangat dekat sekali. Jika tegak berdiri shalat, maka hatinya seolah-olah berdialog langsung dengan Tuhannya. Setiap keinginannya (yang baik) hampir semuanya dikabulkan oleh Allah.
Untuk mencapai puncak ma'rifat dan menjadikan mata batin awas dalam memandang segala yang gaib, maka tahapan awal yang harus di tempuh adalah taubat.
Sesungguhnya setiap saat, manusia berbuat dosa, baik kecil maupun besar, baik disadari atau tidak. Dosa-dosa itu ibarat debu yang menempel pada mata hati. Apabila dibiarkan akan menjadi kerap atau hati sama sekali tertutup. Sehingga, hati tertutup dari kebenaran. Kalau sudah demikian, maka mata hati menjadi gelap. Pikiran-pikiran kotor dan jahat memenuhinya setiap saat.
Sedangkan untuk dapat memberdayakan mata batin dalam memandang keajaiban, diperlukan hati yang bersih. Hati ibarat cermin. Jika tertutup debu, maka tak akan mampu menampakkan bayangan. Jika cermin bersih, bayangan akan tampak jelas. Jika hati bersih, maka batin dapat menembus keajaiban-keajaiban. Inilah yang disebut dengan karomah.
Langkah pertama sekali yang harus ditempuh sebagai riyadha (latihan ruhani) adalah taubat. Dalam pandangan sufi, yang menjadi penyebab manusia jauh dari Allah adalah karena banyaknya dosa. Dosa yang mengotori hati, sehingga hati berkarat. Tidak bisa lagi melihat keajaiban-keajaiban yang datangnya dari Allah. Para Nabi menerima wahyu karena mereka memiliki hati yang bersih dari dosa. Sedangkan manusia, jika bersih dari dosa, tidak ada hijab (pembatas) antara dirinya dengan sang Khaliq. Ia mudah menerima Ilham.
Jika kita bertekad untuk membuka hijab dan ingin memiliki daya ketajaman mata batin, maka tindakan pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan dirinya dari segala macam dosa dengan jalan bertaubat.
Syarat seseorang bisa menempuh jalan taubat ialah ia harus mengetahui atau menyadari tentang berbahayanya dosa. Ia harus sadar bahwa dosa merupakan dinding penyekat antara hamba dengan Allah. Sahl bin Abdillah At Tasturi berkata, "Taubat adalah menggantikan perbuatan-perbuatan tercela dengan perbuatan terpuji. Yang demikian itu tidak akan sempurna kecuali jika ia menyendiri, diam, dan makan makanan yang halal," Menyendiri dan diam maksudnya ialah merenungi dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
Mengapa harus mendahulukan taubat? Ibarat seorang yang hendak memasuki istana dan ingin bertemu raja atau presiden. Mana mungkin ia bisa menginjakkan kaki ke dalamnya jika ia berlepotan dengan lumpur. Ketika sampai di gerbang istana, penjaga pintu sudah mengusirnya. Oleh karena itu, taubat ibarat sungai yang airnya jernih. Seseorang harus mandi di dalamnya untuk membersihkan diri. Ketika telah bersih dari kotaran, barulah diperbolehkan memasuki istana sang raja.
Taubat merupakan pintu utama yang harus dilewati. Tahapan ini adalah merupakan perubahan dan pertanda kehidupan baru, karena taubat sebagai batas antara kehidupan yang gelap dan terang. Taubat mengandung makna "kembali". Jika seseorang bertaubat maka ia berniat kembali kepada fitrahnya semula. Atau, seseorang yang bertaubat berarti dia kembali ke jalan yang benar setelah hidup di jalan yang salah.
Setiap hamba Allah wajib bertaubat atas dosanya. Banyak dalil yang menerangkan betapa orang yang mau bertaubat, ia akan beruntung. Keberuntungan itu karena dengan mudahnya ia dapat menempuh menuju ma'rifatullah. Misalnya dapat di jumpai dalam Al Qur'an :
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An Nur 31).
Sahabat nabi saw, yang bernama Anas bin Malik ra. berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda :
Seseorang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak mempunyai dosa, dan jika Allah mencintai seseorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya. (HR. Al - Hakim, At Turmudzi dari Abu Saida Al Khudri ra.).
Seseorang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak mempunyai dosa, dan jika Allah mencintai seseorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya. (HR. Al - Hakim, At Turmudzi dari Abu Saida Al Khudri ra.).
Kemudian beliau membaca ayat :
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suci. (QS. Al Baqarah 222).
Tiba-tiba seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasul, apa tanda taubat?” Maka Beliau saw. menjawab, “Menyesal.”
Anas bin Malik ra. juga pernah mengabarkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi seorang pemuda yang bertaubat. ”
Disebutkan dalam ayat 222 surat Al Baqarah, “orang-orang yang suci” yang dimaksudkan adalah hamba Allah yang telah bertaubat, menyesal dan tidak mengulangi perbuatan buruknya kembali. Ia senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan tercela. Maka inilah yang dimaksudkan sebagai ‘orang-orang yang suci.
Seorang ulama salaf berkata, “Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki (menempuh jalan sufi). Dan merupakan maqam pertama bagi sufi pemula. Hakikat taubat menurut arti bahasa adalah ‘kembali’. Kata taba berarti Kembali, maka taubat maknanya juga kembali. Artinya, kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju sesuatu yang dipuji dalam syariat.”
Arti taubat (taubah) yang lain, menurut ulama sufi ialah penyesalan diri terhadap segala perilaku jahat yang telah dilakukannya. Menurut Ibnu Qayyim, taubat ialah kembalinya seorang hamba kepada Allah, menjauhkan diri dari jalan yang dibenci dan sesat, dan tidak berhasil kecuafi atas hidayah Allah menuju jalan yang lurus.” Sedangkan menurut al-Kalabadzi, taubat itu mempunyai tiga kategori. Pertama, meninggalkan segala kemaksiatan dan berbuat baik secara terus-menerus. Kedua, keluar dari kejahatan dan memasukkan kebaikan karena takut murka Allah. Ketiga, secara kontinu bertaubat walaupun tidak berbuat dosa.
Syarat yang paling pertama sekali dalam pertaubatan ialah seseorang menyesal dari perbuatan dosa masa lalu. Kemudian timbul azam (niat/tekad) yang kuat. Sedangkan penyesalan itu tidak akan muncul dalam hati seseorang jika ia tidak menyadari akan kesalahannya. Jika ia telah menyadari betapa masa lalu telah berbuat jahat, maka barulah muncul niat. Penyesalan merupakan kesedihan, rasa sakit dalam hati, kerisauan, dan rasa cemas. Hal itu dirasakan ketika seseorang menarik kembali ingatannya kepada masa lalu. Tanda-tanda orang menyesal ialah, suka merenung, suka berpikir, menyendiri, menangis hingga mengeluarkan air mata.
Dosa ibarat racun yang berada di dalam madu. Bagi orang yang tidak mengetahui bahwa di dalam madu ada racun, tentu akan tertarik untuk meminumnya. Ketika meminum akan merasakan kenikmatannya. Tetapi kenikmatan itu tidak akan berlangsung lama. Yang muncul kemudian adalah rasa sakit dan penderitaan, rontoknya rambut dan lumpuhnya anggota badan.
Tidak bisa diingkari, perbuatan dosa memang menyenangkan. Namun tidak berlangsung lama. Yang tersisa dari perbuatan jahat itu adalah penderitaan jiwa. Derita jiwa yang terus-menerus itu tidak akan bisa berakhir jika tidak disembuhkan dengan taubat.
Oleh karena itu sebuah hadis mengatakan, “Duduk-duduklah (berkawanlah) bersama orang-orang ahli taubat, sesungguhnya mereka lebih halus hatinya.” Menurut Imam Al Ghazali, bahwa syarat penyesalan yang sempurna adalah mengembalikan pikiran kepada masa lampau, yaitu ketika hari pertama ia baligh (dewasa) dengan umur atau dengan mimpi. Hendaknya seseorang meneliti apa yang telah dilakukannya semenjak awal baligh dari tahun ke tahun, dari bulan ke bulan, dari hari ke hari, dari tarikan nafas ke tarikan nafas. Kemudian menengok, apakah perjalanannya selama ini telah diisi oleh ibadah wajib. Ataukah ibadah wajibnya ditinggalkan. Berapa banyak kewajibannya kepada Allah ditinggalkan. Berapa banyak pula dosa kejahatan yang dilakukannya.
Orang yang bermaksiat, wajib memeriksa atau meneliti mulai dari permulaan baligh, terhadap pendengaran, penglihatan, lisannya, perut, tangan, kaki, kemaluan, dan anggota tubuh lainnya. Kemudian menengok pada semua harinya dan jamnya. Lalu memerinci kejahatan-kejahatan (kemaksiatan) mulai dari yang besar hingga dosa yang kecil. Jika telah semuanya teringat, maka kemudian hati harus nadam (menyesal) dengan sedalam-dalamnya. Dari rasa penyesalan itulah akan timbul taubat. Setiap keburukan yang pernah dilakukannya harus diganti dengan' kebaikan. Rasulullah saw. bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, pasti kebaikan itu menghapusnya.” Sementara itu di dalam Al Qur'an Surat Hud ayat 114, Allah berfirman, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk.”
Setiap kemaksiatan (kejahatan dan keburukan) itu membawa kegelapan yang akan menutupi hati dari nur kebenaran. Kegelapan hati tidak dapat dilawan kecuali dengan sesuatu yang berlawanan dengan itu. Kemaksiatan harus dilawan dengan kebaikan. Oleh sebab itu dalam menempuh jalan taubat, seseorang yang menyesal harus melawan keburukannya itu dengan kebaikan.
Adapun kesalahan yang berhubungan dengan manusia, maka penyesalan harus diikuti dengan permintaan maaf kepadanya. Kesalahan kepada sesama itu misalnya menganiaya, menyakiti hatinya, atau merusak kehormatannya. Hal ini, selain bertaubat kepada Allah, seseorang harus meminta keikhlasan hati orang yang dianiaya.
Perbuatan penganiayaan tidak cukup ditebus dengan meminta maaf secara lisan. Namun seseorang harus berbuat baik. Jika ia pernah merampas hartanya, maka dapat dihapus dengan cara mengembalikannya. Jika orang yang dianiaya itu tidak ada, boleh diberikan ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak dijumpai, maka harta itu dikembalikan kepada Allah dalam bentuk sedekah.
Oleh sebab itu, orang yang benar-benar ingin menempuh jalan sufi, maka haruslah bertaubat. Syarat bertaubat harus menengok ke belakang, dosa apa saja kiranya yang telah diperbuatnya. Barangsiapa yang pandai memeriksa dirinya, maka ia akan terdorong azam (niat) untuk bertaubat.
Setelah menyadari kesalahan di masa lalu, maka harus ada niat yang kuat untuk meninggalkannya. Tentu saja, untuk merealisasikan niat itu memang sulit karena banyak godaan. Kadang-kadang gagal di tengah jalan. Tetapi haruslah terus-menerus diusahakan dengan tetap menanamkan rasa takut dan harap kepada Allah.
Kebiasaan-kebiasaan buruk (jahat) yang menimbulkan dosa harus dijauhi.' Seseorang harus hijrah dari sifat membinasakan kepada sifat yang menguntungkan. Hijrah, tidak hanya berarti berpindah tempat. Namun berpindah kebiasaan juga termasuk itu. Kemudian seseorang harus uzlah, yaitu menyingkir dari pergaulan yang merusak dan penuh maksiat.
Setelah berhijrah dari keburukan kepada kebaikan, maka seseorang haruslah menanamkan azam yang kuat untuk tetap menapaki jalan kebenaran di masa-masa yang akan datang.
Taubat yang disebutkan di atas adalah taubat kaum awwam. Yaitu taubat dari kesalahan atau dari maksiat. Inilah taubat yang paling dasar. Pelakunya dituntut untuk memenuhi persyaratan minimal seperti tersebut di atas.
Pada tingkatan berikutnya (tingkatan kedua), taubat bermakna kembali dari jalan yang baik menuju ke jalan yang lebih baik. Taubat dalam tingkatan ini disebut imbah. Taubat semacam ini biasa dilakukan oleh kaum muqarrabin. Sebagaimana diisyaratkan dalam Al Qur'an:
Dan dikatakan kepada mereka, ‘Inilah yang telah dijanjikan kepada setiap orang yang selalu kembali kepada Tuhan dan senantiasa memelihara fitrah dan amal perbuatannya. Yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Dalam keadaan menyendiri dan datang kepada Dia dengan hati bertaubat. [QS. Qaf 32-33].
Taubat pada tingkatan ini akan senantiasa menimbulkan upaya untuk meningkatkan kwalitas ibadah seseorang, menuju pada tingkat yang akhir, yaitu kesempurnaan. Orang yang telah bertaubat pada tataran ini mempunyai keyakinan bahwa ibadah yang dilakukan selama ini jauh dari sempurna dan selalu berkurang. Kekurangan dalam beribadah dianggapnya sebagai suatu kesalahan terhadap Allah swt.
Orang yang bertaubat dalam tingkatan kedua ini mempunyai semangat hidup yang berapi-api. Ia senantiasa ingin hari esok lebih baik daripada hari ini.. Ketika selesai shalat, maka hatinya justru tidak tenang karena merasa shalatnya kurang sempurna. Ia merasa berdosa kepada Allah karena tidak mampu memenuhi kewajibannya. Oleh karena itu, ia terus menerus meningkatan mutu shalatnya. Semakin lama semakin sempurna.
Taubat tingkat pertama dan kedua itu barulah dalam rangka melawan hawa nafsu. Di mana melawan hawa nafsu demi membebaskan diri dari maksiat, baik yang dhahir maupun maksiat bathin. Perjuangan taubat semacam ini, belum tentu bisa diselesaikan. Artinya seseorang belum tentu lulus dari memenuhi kesempurnaan taubat. Karena kemaksiatan batin baru bisa dihilangkan ketika seseorang berada dalam maqam zuhud.
Sedangkan taubat dalam tingkatan ketiga, disebut taubah, yang bermakna kembali yang terbaik menuju Allah. Taubat ini disebut juga taubatur rasul karena lazim dilakukan oleh para nabi. Dalam taubat semacam ini, seseorang dimotivasi bukan karena apa pun (tidak karena takut neraka atau mengharap surga), namun semata karena kecintaan/kepatuhannya kepada Allah. Seseorang yang mampu menjalani taubat semacam ini, sudah barang tentu ia mencapai maqam wara.
Taubat baru dapat dianggap sebagai penghapus dosa jika memenuhi beberapa persyaratan, antara lain sebagai berikut:
Apabila taubat ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dan memenuhi syarat-syaratnya, maka seseorang akan kembali menjadi fitrah; kembali menjadi suci sebagaimana ketika ia baru lahir.
Video Doa Taubat
Anas bin Malik ra. juga pernah mengabarkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi seorang pemuda yang bertaubat. ”
Disebutkan dalam ayat 222 surat Al Baqarah, “orang-orang yang suci” yang dimaksudkan adalah hamba Allah yang telah bertaubat, menyesal dan tidak mengulangi perbuatan buruknya kembali. Ia senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan tercela. Maka inilah yang dimaksudkan sebagai ‘orang-orang yang suci.
Seorang ulama salaf berkata, “Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki (menempuh jalan sufi). Dan merupakan maqam pertama bagi sufi pemula. Hakikat taubat menurut arti bahasa adalah ‘kembali’. Kata taba berarti Kembali, maka taubat maknanya juga kembali. Artinya, kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju sesuatu yang dipuji dalam syariat.”
Arti taubat (taubah) yang lain, menurut ulama sufi ialah penyesalan diri terhadap segala perilaku jahat yang telah dilakukannya. Menurut Ibnu Qayyim, taubat ialah kembalinya seorang hamba kepada Allah, menjauhkan diri dari jalan yang dibenci dan sesat, dan tidak berhasil kecuafi atas hidayah Allah menuju jalan yang lurus.” Sedangkan menurut al-Kalabadzi, taubat itu mempunyai tiga kategori. Pertama, meninggalkan segala kemaksiatan dan berbuat baik secara terus-menerus. Kedua, keluar dari kejahatan dan memasukkan kebaikan karena takut murka Allah. Ketiga, secara kontinu bertaubat walaupun tidak berbuat dosa.
Syarat yang paling pertama sekali dalam pertaubatan ialah seseorang menyesal dari perbuatan dosa masa lalu. Kemudian timbul azam (niat/tekad) yang kuat. Sedangkan penyesalan itu tidak akan muncul dalam hati seseorang jika ia tidak menyadari akan kesalahannya. Jika ia telah menyadari betapa masa lalu telah berbuat jahat, maka barulah muncul niat. Penyesalan merupakan kesedihan, rasa sakit dalam hati, kerisauan, dan rasa cemas. Hal itu dirasakan ketika seseorang menarik kembali ingatannya kepada masa lalu. Tanda-tanda orang menyesal ialah, suka merenung, suka berpikir, menyendiri, menangis hingga mengeluarkan air mata.
Dosa ibarat racun yang berada di dalam madu. Bagi orang yang tidak mengetahui bahwa di dalam madu ada racun, tentu akan tertarik untuk meminumnya. Ketika meminum akan merasakan kenikmatannya. Tetapi kenikmatan itu tidak akan berlangsung lama. Yang muncul kemudian adalah rasa sakit dan penderitaan, rontoknya rambut dan lumpuhnya anggota badan.
Tidak bisa diingkari, perbuatan dosa memang menyenangkan. Namun tidak berlangsung lama. Yang tersisa dari perbuatan jahat itu adalah penderitaan jiwa. Derita jiwa yang terus-menerus itu tidak akan bisa berakhir jika tidak disembuhkan dengan taubat.
Oleh karena itu sebuah hadis mengatakan, “Duduk-duduklah (berkawanlah) bersama orang-orang ahli taubat, sesungguhnya mereka lebih halus hatinya.” Menurut Imam Al Ghazali, bahwa syarat penyesalan yang sempurna adalah mengembalikan pikiran kepada masa lampau, yaitu ketika hari pertama ia baligh (dewasa) dengan umur atau dengan mimpi. Hendaknya seseorang meneliti apa yang telah dilakukannya semenjak awal baligh dari tahun ke tahun, dari bulan ke bulan, dari hari ke hari, dari tarikan nafas ke tarikan nafas. Kemudian menengok, apakah perjalanannya selama ini telah diisi oleh ibadah wajib. Ataukah ibadah wajibnya ditinggalkan. Berapa banyak kewajibannya kepada Allah ditinggalkan. Berapa banyak pula dosa kejahatan yang dilakukannya.
Orang yang bermaksiat, wajib memeriksa atau meneliti mulai dari permulaan baligh, terhadap pendengaran, penglihatan, lisannya, perut, tangan, kaki, kemaluan, dan anggota tubuh lainnya. Kemudian menengok pada semua harinya dan jamnya. Lalu memerinci kejahatan-kejahatan (kemaksiatan) mulai dari yang besar hingga dosa yang kecil. Jika telah semuanya teringat, maka kemudian hati harus nadam (menyesal) dengan sedalam-dalamnya. Dari rasa penyesalan itulah akan timbul taubat. Setiap keburukan yang pernah dilakukannya harus diganti dengan' kebaikan. Rasulullah saw. bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, pasti kebaikan itu menghapusnya.” Sementara itu di dalam Al Qur'an Surat Hud ayat 114, Allah berfirman, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk.”
Setiap kemaksiatan (kejahatan dan keburukan) itu membawa kegelapan yang akan menutupi hati dari nur kebenaran. Kegelapan hati tidak dapat dilawan kecuali dengan sesuatu yang berlawanan dengan itu. Kemaksiatan harus dilawan dengan kebaikan. Oleh sebab itu dalam menempuh jalan taubat, seseorang yang menyesal harus melawan keburukannya itu dengan kebaikan.
Adapun kesalahan yang berhubungan dengan manusia, maka penyesalan harus diikuti dengan permintaan maaf kepadanya. Kesalahan kepada sesama itu misalnya menganiaya, menyakiti hatinya, atau merusak kehormatannya. Hal ini, selain bertaubat kepada Allah, seseorang harus meminta keikhlasan hati orang yang dianiaya.
Perbuatan penganiayaan tidak cukup ditebus dengan meminta maaf secara lisan. Namun seseorang harus berbuat baik. Jika ia pernah merampas hartanya, maka dapat dihapus dengan cara mengembalikannya. Jika orang yang dianiaya itu tidak ada, boleh diberikan ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak dijumpai, maka harta itu dikembalikan kepada Allah dalam bentuk sedekah.
Oleh sebab itu, orang yang benar-benar ingin menempuh jalan sufi, maka haruslah bertaubat. Syarat bertaubat harus menengok ke belakang, dosa apa saja kiranya yang telah diperbuatnya. Barangsiapa yang pandai memeriksa dirinya, maka ia akan terdorong azam (niat) untuk bertaubat.
Setelah menyadari kesalahan di masa lalu, maka harus ada niat yang kuat untuk meninggalkannya. Tentu saja, untuk merealisasikan niat itu memang sulit karena banyak godaan. Kadang-kadang gagal di tengah jalan. Tetapi haruslah terus-menerus diusahakan dengan tetap menanamkan rasa takut dan harap kepada Allah.
Kebiasaan-kebiasaan buruk (jahat) yang menimbulkan dosa harus dijauhi.' Seseorang harus hijrah dari sifat membinasakan kepada sifat yang menguntungkan. Hijrah, tidak hanya berarti berpindah tempat. Namun berpindah kebiasaan juga termasuk itu. Kemudian seseorang harus uzlah, yaitu menyingkir dari pergaulan yang merusak dan penuh maksiat.
Setelah berhijrah dari keburukan kepada kebaikan, maka seseorang haruslah menanamkan azam yang kuat untuk tetap menapaki jalan kebenaran di masa-masa yang akan datang.
Taubat yang disebutkan di atas adalah taubat kaum awwam. Yaitu taubat dari kesalahan atau dari maksiat. Inilah taubat yang paling dasar. Pelakunya dituntut untuk memenuhi persyaratan minimal seperti tersebut di atas.
Pada tingkatan berikutnya (tingkatan kedua), taubat bermakna kembali dari jalan yang baik menuju ke jalan yang lebih baik. Taubat dalam tingkatan ini disebut imbah. Taubat semacam ini biasa dilakukan oleh kaum muqarrabin. Sebagaimana diisyaratkan dalam Al Qur'an:
Dan dikatakan kepada mereka, ‘Inilah yang telah dijanjikan kepada setiap orang yang selalu kembali kepada Tuhan dan senantiasa memelihara fitrah dan amal perbuatannya. Yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Dalam keadaan menyendiri dan datang kepada Dia dengan hati bertaubat. [QS. Qaf 32-33].
Taubat pada tingkatan ini akan senantiasa menimbulkan upaya untuk meningkatkan kwalitas ibadah seseorang, menuju pada tingkat yang akhir, yaitu kesempurnaan. Orang yang telah bertaubat pada tataran ini mempunyai keyakinan bahwa ibadah yang dilakukan selama ini jauh dari sempurna dan selalu berkurang. Kekurangan dalam beribadah dianggapnya sebagai suatu kesalahan terhadap Allah swt.
Orang yang bertaubat dalam tingkatan kedua ini mempunyai semangat hidup yang berapi-api. Ia senantiasa ingin hari esok lebih baik daripada hari ini.. Ketika selesai shalat, maka hatinya justru tidak tenang karena merasa shalatnya kurang sempurna. Ia merasa berdosa kepada Allah karena tidak mampu memenuhi kewajibannya. Oleh karena itu, ia terus menerus meningkatan mutu shalatnya. Semakin lama semakin sempurna.
Taubat tingkat pertama dan kedua itu barulah dalam rangka melawan hawa nafsu. Di mana melawan hawa nafsu demi membebaskan diri dari maksiat, baik yang dhahir maupun maksiat bathin. Perjuangan taubat semacam ini, belum tentu bisa diselesaikan. Artinya seseorang belum tentu lulus dari memenuhi kesempurnaan taubat. Karena kemaksiatan batin baru bisa dihilangkan ketika seseorang berada dalam maqam zuhud.
Sedangkan taubat dalam tingkatan ketiga, disebut taubah, yang bermakna kembali yang terbaik menuju Allah. Taubat ini disebut juga taubatur rasul karena lazim dilakukan oleh para nabi. Dalam taubat semacam ini, seseorang dimotivasi bukan karena apa pun (tidak karena takut neraka atau mengharap surga), namun semata karena kecintaan/kepatuhannya kepada Allah. Seseorang yang mampu menjalani taubat semacam ini, sudah barang tentu ia mencapai maqam wara.
Taubat baru dapat dianggap sebagai penghapus dosa jika memenuhi beberapa persyaratan, antara lain sebagai berikut:
a. | Menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukan |
b. | Meninggalkan perbuatan maksiat tersebut. |
c. |
Bertekad sepenuh hati untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat tersebut. Ketiga syarat jika menyangkut dosa seorang hamba terhadap Allah. Jika maksiat (kejahatan) itu terhadap sesama manusia, selain syarat di atas, ditambah lagi dengan:
|
d. |
Jika maksiat tersebut berkaitan dengan harta, maka diharuskan mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Jika pemiliknya tidak ada, maka kepada ahli warisnya, dan jika ahli warisnya tidak dijumpai, dikembalikan kepada Allah dengan memberikan kepada sabilillah. Jika maksiat tersebut menyangkut kehormatan seseorang, maka orang bertaubat harus meminta maaf.
|
Apabila taubat ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dan memenuhi syarat-syaratnya, maka seseorang akan kembali menjadi fitrah; kembali menjadi suci sebagaimana ketika ia baru lahir.
Video Doa Taubat
| Membuka Mata Bathin |
|