Hati Yang Bersinar Terang, Hati Yang Redup Padam, Antara ada dan Tiada, Cahaya dan Gulita

ANTARA HATI YANG BERSINAR TERANG DAN YANG REDUP LAGI PADAM

"Bagaimana mungkin hati manusia akan memancarkan cahaya, bila cermin hatinya masih memantulkan beraneka macam  gambaran tentang alam duniawi ? Bagaimana bisa, seorang menempuh perjalanan menjumpai Allah, sementara ia  terbelenggu dengan nafsu syahwat. Bagaimana mungkin seorang hamba masuk ke hadhirat Allah, sedangkan ia belum bersih dari janabat kelalainnya. Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus dan dalam, sementara ia belum juga bertobat dari kesalahannya."

Terkumpulnya dua perkara yang berlawanan dalam suatu tempat pada saat yang bersamaan adalah mustahil. Sebagaimana berkumpulnya antara gerak dan diam, antara cahaya dan kegelapan. Perkara-perkara inilah yang oleh pengarang (Ibnu Athaillah), disebut sebagai hal yang berlawanan yang tidak akan dapat berkumpul.

Berbinar-binarnya sinar hati adalah dengan cahaya keimanan dan keyakinan. Sebaliknya gelapnya hati adalah karena gambaran dunia yang mengasyikkan bergelayutan melumuri hatinya. Kecintaan akan dunia dan perhiasan-perhiasannya membuat hati tertutup dan menjadi gelap. Orang yang meniti jalan untuk menjumpai kehadhirat Allah haruslah dapat mematahkan dan membebaskan diri dari belenggu nafsu syahwat. Untuk dapat masuk kehadhirat Allah, menuntut kesucian dan kebersihan orang yang hendak masuk kehadhirat-Nya. Keadaan suci ini, merupakan hal yang berlawanan dengan keadaan janabat kelajaian. Sehingga dalam kondisi junub, masih berlumuran dosa dan kelalaian, mustahil seseorang bisa berjumpa kehadhirat Allah. Kondisi terakhir ini, justru membuat seseorang terpental dan terlempar jauh dari hadhirat Allah swt. Dan pemahaman akan kehalusan rahasia hakekat-hakekat terdalam yang terrefleksi dari ketakwaan adalah lawan dari kecerobohan bergelimangan kemaksiatan dan berlumuran dosa-dosa.
Allah swt. mengisyaratkan dalam firman-Nya: 
yang artinya:
"Dan bertakwalah kepada Allah, tentu Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. " (QS. AI-Baqarah: 282).

Diriwayatkan pula di dalam hadis, sebagaimana berikut:

"Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang dimiliki, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu-ilmu yang belum diketahuinya. "

Yahya bin Mu'in ra. berkata, ketika aku berjumpa dengan Imam Ahmad bin Hambal dan Ahmad bin Afti Hawari, Ibnu Hambal berkata kepada Abi Hawari: "Ya Ahmad bin Abi Hawari, ceritakan kepadaku tentang hikayat yang Anda dengar dari guru Anda, Abi Sulaiman." Abi Hawari berkata: "Wahai Ahmad, katakanlah subhaanallah (Maha Suci Allah), tanpa merasa kagum dan heran." Ibnu Hambal berkata: "Subhaanallah. Sekalipun hikayat itu panjang aku akan mendengarkannya tanpa kagum." Lalu Ibnu Abi Hawari berkisah, aku pernah mendengar Abu Sulaiman berkata: "Ketika jiwa seorang hamba telah mengikat komitmen janji untuk meningggalkan dosa-dosa, niscaya ia akan terbang naik ke alam malakut, lalu kembali dengan membawa butiran-butiran hikmah kepada hamba itu, tanpa hajat pada seorang guru yang menyampaikan hikmah itu. Mendengar cerita itu, Ahmad Ibnu Hambal berdiri lalu duduk, berdiri lagi lalu duduk lagi, hingga liga kali. Kemudian berkata: "Aku tidak pernah mendengar hikayat cli dalam Islam yang lebih mengherankan bagiku daripada hikayat ini. Selanjutnya Ibnu Hambal menjelaskan hadis sebagaimana yang telah kami kemukakan, yaitu:
Artinya:
"Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang dimiliki, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu-ilmu yang belum diketahuinya." Lalu Ibnu Hambal berkata kepada Ahmad Ibnu Abi Hawari: "Wahai Ahmad Anda benar dan benar pula guru Anda."

Dalam kontek antara dua perkara yang selalu berlawanan tersebut Ibnu Athaillah merasa heran terhadap orang yang berkeyakinan akan dapat berkumpulnya dua hal yang saling kontradiktif tersebut. Yaitu orang yang mengingkan memperoleh derajat sebagai pembesar yang inulia, sementara kondisinya carut marut bergelimangan dengan dosa dan kemaksiatan.

ANTARA ADA DAN TIADA, CAHAYA DAN GULITA

Artinya:
"Alam maujud, semuanya adalah gelap (tiada), tetapi ia menjadi bersinar (ada), karena adanya wujud Al-Haq.

Barangsiapa yang melihat alam maujud, sementara ia tidak dapat menyaksikan wujud Al-Haq di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelumnya atau sesudahnya, berarti ia disilaukan oleh wujudnya nun Dan surya kema'rifatan menjadi tertutup darinya oleh ketebalan awan kebendaan."
Ada dan tiada, cahaya dan gulita,-dua hal yang kontriversial dan bertolak belakang. Segala yang tiada adalah gelap, sedangkan yang ada adalah cahaya. Alam kemakhlukan dipandang dari zatnya sendiri pada hakekatnya adalah tiada dan gelap. Tetapi ia menjadi ada, karena wujud Al-Haq Yang-Maha Kuasa untuk mewujudkannya. Karenanya, adanya yang maujud itu sebagai bukti adanya yang mewujudkan, yaitu Al-Haq (Allah). Dipandang dari jelasnya cahaya Al-Haq dan Zhahirnya Al-Haq pada yang maujud itu, ia merupakan wujud mustatir.

Dari sinilah terjadi controversial di kalangan manusia. Di antara mereka ada yang berpandangan bahwa mereka tidak menyaksikan apapun, melainkan adanya yang maujud itu sendiri. Dengan begitu, mereka menjadi terhalang untuk dapat menemukan yang mewujudkan, dalam alam kemakhlukan itu. Mereka berada dalam kondisi kegelapan, lertutup oleh mendung kebendaan. Dan di antara meraka ada yang tidak lertutup oleh mendung alam kebendaan itu, dari menyaksikan Al-Khaliq yang menciptakannya.

Kemudian mengenai kesaksian mereka pada Al-Haq, di antaranya ada yang dapat menyaksikan atau mengenali yang menciptakan sesuatu (makhluk) sebelum sesuatu itu diciptakan. Mereka ini berargumentasi wujud Sang Pencita adalah Maha Dahulu daripada bekas kekuasaan-Nya yang berupa makhluk ciptaan-Nya.

Di antara mereka ada yang menyaksikan-Nya setelah terciptanya alam kemakhlukan. Kelompok ini, berargumentasi bahwa adanya makhluk adalah sebagai bukti akan adanya Al-Khaliq. Di antara mereka ada juga yang menyaksikan Al-Haq sebagai Sang Pencipta bersamaan dengan makhluk ciptaan-Nya, secara langsung atau terpisah. Sebuah kesaksian secara langsung ada pada makhluk ciptaan-Nya atau secara terpisah ada di sisi ciptaan-Nya.

Masalah tersebut tidaklah terkait dengan zaman dan tempat, karena keduanya merupakan makhluk. Begitu pula masalah langsung atau terpisah, tidaklah dimaksudkan sebagaimana maknanya, karena keduanya juga termasuk dalam kategori alam kemakhlukan. Hal ini merupakan masalah yang rumit dan pelik. Banyak di antara manusia yang tergelincir dalam ucapan yang berlawanan dengan syari'at, sehingga terjebak dalam kekufuran dan perbuatan bid'ah. Oleh sebab itu, sucikan akidah bersihkan keyakinan, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Sebagaimana firman Allah swt.:
Artinya:
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."   (QS. Asy-Syura: 11).

KETIKA ANDA TERHALANG MENGENALI ALLAH

Artinya:
"Di antara tanda-tanda atas wujud kekuasaan Allah swt. ialah Dia berkuasa menghalangi Anda mengenali-Nya, dengan  sesuatu yang wujud tidak bersama Dia."

Para arifin dan ahli hakekat sepakat, bahwa apa saja yang selain Allah sesungguhnya adalah tiada. Sekalipun segala sesuatu itu maujud, tetapi adanya tidak sama dengan wujud Allah swt. Apabila sesuatu yang ada itu disifati sebagaimana sifat Allah, maka hal itu sebagai tindakan kemusyrikan dan pemberhalaan yang bertentangan dengan kemurnian tauhid. Allah swt. berfirman:

Artinya:
"Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disambah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. " (QS. Al-Qashash: 88).
Nabi saw. bersabda membenarkan sebuah kalimat (syair) yang dikatakan oleh seorang penyair berikut: "' Camkanlah!
Segala sesudtu yang selain Allah adalah batil.
Dan segala kenikmatan pasti akan lenyap."
Sebagian orang arif berkata bahwa orang-orang ahli hakekat tidak  menyaksikan yang selain Allah, melainkan hanyalah bagaikan suatu hayangan. Adanya bayangan itu, tentu karena adanya wujud yang lain. Ketika seseorang tidak dapat melihat benda yang menyebabkan ndanya bayangan itu, berarti ada penghalang yang menghalanginya iinluk dapat melihat benda itu.

Sayid Hasan Syadzali ra. berkata: "Sesungguhnya kami dapat melihat Allah dengan pandangan keimanan dan keyakinan.  
Hal itu Midah cukup bagi kami, sehingga tidak lagi perlu dalil dan bukti lain. Adapun mengenai makhluk, adakah yang wujud selain Dia Yang Esa. Sekalipun makhluk itu ada, kami tidak melihatnya, melainkan hanyalah bagaikan debu di udara. Ketika Anda mencarinya tentu Anda tidak akan mendapatkan suatu apapun."

Bagi orang-orang yang ma'rifat, penglihatannya kepada Allah begitu kuat dan jelas. Penglihatan mereka kepada-Nya, tidaklah terhalang oleh benda ciptaan-Nya. Mereka dapat mengenali dan mendekati-Nya melalui benda-benda ciptaan-Nya itu. Bagi orang awam barangkali wujud ciptaan Allah tidak mampu mereka pakai sebagai alat untuk  mengenai Allah swt. bahkan keadaan benda yang wujud itu justru menjadi penghalang untuk mengenai dan mendekati-Nya.  
Karena unluk dapat mengenali Allah melalui benda ciptaan-Nya, selain memerlukan kemampuan berfikir, dibutuhkan  pula iman dan keyakinan yang kuat dan dalam.

Ibnu Atha' menyebutkan di dalam kitab Tanwir, bagi orang ahli ina'rifat, apa yang selain Allah tidak memiliki sifat  wujud seperti-Nya, namun tidak terlepas daripada-Nya. Karena Dialah yang mencipta-kan tanpa batuan siapapun. Oleh sebab itu, wujud alam kebendaan tidaklah menjadi penghalang untuk dapat menemukan dan melihat-Nya, segala yang  dilihatnya merupakan bukti kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sebagaimana yang diungkapkan seorang penyair:
Ketika aku telah mengenai Allah aku tidak melihat yang selain-Nya hari ini aku telah sampai pada puncak hubungan yang intens aku pun takut berpisah dengan-Nya.
Orang-orang yang arif tidak melihat apapun selain Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.
Terhadap yang selain-Nya pada hakekatnya mereka tidaklah melihatnya, melainkan sebagai suatu hal yang rusak di saat ini, lampau maupun yang akan datang.
Ketika kondisi demikian benar-benar nyata, kami melihat kebanyakan manusia terhalang oleh syahwat keduniaan dan anggapannya memperoleh derajat keakhiratan serta ketinggian kedudukannya, untuk dapat melihat Allah. Karena semua  itu, bisa jadi merupakan wujud angan-angannya saja yang justru akan membuatnya tertipu. Hal itu, dapat diketahui  dari wujud keperkasaan dan sifat Allah Yang Maha Memaksa. Karena di antara sifat Allah adalah Maha Pemaksa (Al- Qahhar). Seandainya hijab itu dihilangkan dari mereka, maka jiwa mereka menjadi bersih, iradahnya menjadi terarah  dan mereka pun kekal bersama Tuhan. Dengan demikian, mereka menjadi hamba Allah yang sebenarnya.
Ketika Abu Sa'id Al-A'rabi ditanya tentang sesuatu yang bersifat rusak fana'. Ia menjawab: "Apabila seorang hamba  melihat kebesaran dan keagungan Allah terhadap dirinya dan segala sesuatu yang bersifat rusak fana'. Karena  akalnya tenggelam dalam kebesaran Tuhannya.
Dalam pandangan orang-orang arif fana' itu ada tiga macam, yaitu:

  1. Fana' dalam segi perbuatan. Sebagaimana perkataan mereka: "Tidak ada yang berbuat kecuali Allah.
  2. Fana' dari segi sifat. Yakni, tidak ada yang hidup, tidak pula ada yang mengetahui, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan tidak pula berbicara pada hakekatnya, melainkan Allah swt.
  3. Fana' dari segi zat. Yakni, tidak ada yang wujud secara mutlak kecuali Allah swt.
Sebagaimana diungkapkan dalam syair: . 
"Segala sesuatu itu pasti akan rusak,
ya, pasti binasa
kebinasaannya itu
menunjukkan atas kekekalan Sang Pencipta. "
Sayid Muhyiddin berkata: "Barangsiapa yang melihat makhluk, Ncbagai ciptaan Allah yang tidak memiliki kekuasan  berbuat, maka In adalah orang yang beruntung. Barangsiapa yang melihat makhluk, tidak memiliki kehidupan, maka ia  telah memperoleh petunjuk. Dan biiiangsiapa yang melihat makhluk dengan pandangan tiada (Warn), maka dia telah  sampai pada Tuhan."

Hal yang senada, sebagaimana diungkapkan dalam syair berikut:
Barangsiapa yang melihat makhluk
laksana fatamorgana
maka dia telah melampaui hijab
jauh dan dekat tidak lagi dikenal tiada yang ia lihat selain Dia
ia pun memperoleh petujuk kebenaran tanpa khithab dan tidak pula isyarah.

Perhatikan pula beberapa ungkapan berikut:
Artinya:
"Bagaimana mungkin digambarkan bahwa terdapat hijab untuk mengenai Allah, sedangkan Allah telah menampakkan segala  sesuatu (dari yang semula tiada itu) melalui cahaya-Nya."

"Bagaimana mungkin digambarkan terdapat hijab antara hamba dengan Sang Maha Pencipta, padahal seluruh ciptaan-Nya  
di alam semesta ini adalah bukti yang sangat terang akan adanya Allah."
Allah swt. berfirman:

Artinya:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ke¬kuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri..."
(QS. Fushshilat: 53).

Artinya:
"Bagaimana mungkin digambarkan, terdapat hijab antara hamba dengan Allah, sementara segala sifat dan nama-nama  baik-Nya begitu jelas pada setiap ciptaan-Nya. "

Artinya:
"Bagaimana mungkin digambarkan, terdapat hijab antara hamba dengan Allah, padahal la nampak jelas oleh segala sesuatu, sehingga semuanya bersujud dan bertasbih kepada-Nya."

Artinya:
"Bagaimana mungkin digambarkan, terdapat hijab antara hamba dengan Allah, padahal Ia adalah Zhahir, bahkan sebelum  adanya segala sesuatu." 

Artinya:
"Bagaimana mungkin digambarkan, terdapat hijab antara hamba dengan Allah, padahal la nampak lebih jelas dari segala  sesuatu."
Karena segala sesuatu yang wujud selain Dia, semula tiada.

Artinya:
"Bagaimana mungkin digambarkan, terdapat hijab antara hamba dengan Allah, padahal Ia adalah Esa, tidak ada sesuatu  pun yang menyertai-Nya."
Pada hakekatnya, segala sesuatu selain Allah itu adalah tiada (iidam) dan tidak ada wujudnya.

Artinya:
"Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang oleh sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepada Anda daripada  segala sesuatu."
Karena ilmu Allah meliputi totalitas diri Anda dan Dia pula yang niengurus segala sesuatu, juga Anda dengan diri-Nya sendiri tanpa bantuan dan partisipasi siapapun.

Artinya:
"Bagaimana mungkin digambarkan bahwa Allah terhalang oleh sesuatu, padahal seandainya bukan atas kehendak dankekuasaan Allah, maka tidak akan ada segala sesuatu."
Dengan demikian, adanya segala sesuatu itu, sebagai bukti atas adanya Allah swt.


Allah swt. berfirman: 

Artinya:
"Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesung¬guhnya Dia menyaksikan segala sesuatu." (QS. Fushshilat:  53).

Artinya:
"Sungguh mengherankan bagaimana mungkin yang wujud nampak pada yang tiada. Atau bagaimana mungkin sesuatu yang baru (makhluk) itu kondisi keberadaannya sama dengan yang bersifat Qidam (Maha Dahulu)."
Sesungguhnya yang adam (tidak ada) itu adalah gelap, sedangkan yang wujud itu adalah cahaya. Ada dan tiada, gelap dan cahaya adalah dua hal yang saling berlawanan yang tidak akan dapat perkumpul. Dan yang batil, tidak akan pernah  tetap ada, bersamaan dengan munculnya yang hak. Sebagaimana firman Allah swt.:

Artinya:
"Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." (QS.Al-Isra': 81).

Dan firman Allah swt.:

Artinya:
"Sesungguhnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta m'erta yang batil itu lenyap." (QS. Al-Anbiya': 18).
Dari sini, jelaslah apa yang diungkapkan oleh pengarang (Ibnu Athaillah): "Alam maujud, semuanya adalah gelap  (tiada), tetapi ia menjadi bersinar (ada), karena adanya wujud Al-Haq... " Beliau telah mengungkapkan dengan bahasa yang begitu indah, dalam dan penuh makna. Sebuah ungkapan yang membuat hati menjadi tenang, mata dan pendengaran menjadi terpuaskan. Ibnu Athaillah telah menjelaskan semua yang terkait dengan yang nampak, membatalkan semua  kegelapan dan cahaya dalam perannya sebagai hijab (penghalang antara seorang hamba dengan Allah). Dengan  ungkapannya yang faseh dan jelas, serta isyaratnya yang halus, beliau telah memperlihatkan kebenaran secara jelas dan gamblang. Sehingga adalah mungkin bagi Anda untuk mencapai keimanan yang lebih tinggi mencapai derajat ihsan.  

Seandainya beliau tidak mengemukakan pasal-pasal lain dalam kitab Hikam ini, kiranya satu pasal itu sudah cukup  mewakili semuanya. Selanjutnya beliau menyatakan, pasal berikut.

TERHADAP YANG SUDAH JELAS, MENGAPA DITINGGALKAN UNTUK MENCARI YANG BELUM JELAS

Artinya:
"Orang yang mencari hal baru yang belum jelas, dengan mening-galkan apa yang sudah dimilikinya, padahal Allah  Ta'ala telah memilihkan baginya apa yang telah dimilikinya tersebut, pada waktu itu, maka apa yang dilakukannya itu  adalah sebuah tindakan bodoh."

Apabila Allah telah menempatkan seorang hamba pada sebuah kondisi (posisi), yang tidak tercela dalam pandangan syara', maka hendaklah itu tetap memperbaiki etika dalam usaha untuk mempertahan-kannya, dan ridha dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah baginya itu. Hendaklah ia tetap memelihara adab terhadap Allah dengan posisinya itu, hingga Allah berkenan memindahkan pada posisi lain yang lebih bagus, sesuai dengan kehendak-Nya.
Abu Usman berkata: "Selama empat puluh tahun, aku berada dalam sebuah kondisi yang tidak menyenangkanku, namun Allah belum juga berkenan memindahkan aku dalam suatu kondisi lain, sehingga timbul perasaan yang tidak menyenangkan di dalam hatiku." Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu mengenai hikayat pengarang dengan gurunya,  
Abu Abbas Al-Mursyi, ketika pengarang kitab hikam (Ibnu Athaillah) berketetapan hati untuk memasuki dunia tajrid (mengosongkan diri dari persoalan keduniaan untuk fokus ke dalam laku rohania secara batin), dengan meninggalkan kesibukan pencarian ilmu lahir. Sebagai jawaban dari sang guru adalah bahwa yang demikian itu merupakan natijah (konklusi) dari ilmu Allah dan ma'rifat ketuhanan, kejengkelan dan ketidak sukaan Anda terhadap sebuah kondisi dan keinginan untuk segera berpindah daripadanya, pada sebuah keadaan baru yang bukan atas kehendak Allah adalah sebuah  tindakan bodoh dan su-ul adab (berakhlak buruk) terhadap Tuhan.

Sikap yang demikian itu merupakan tindakan yang melawan hukum waktu, sebagaimana yang diisyaratkan oleh kaum sufi,  bahwa hal itu bagi mereka merupakan,perbuatan dosa. Adalah menjadi keharusan bagi seorang hamba dan merupakan etika kehambaan untuk tunduk dan menyerah terhadap ketetapan Allah, pada waktu itu. Perubahan dari satu keadaan kepada keadaan lain telah ditetapkan oleh Allah sesuai dengan sunatullah dan hukum alamiah. Adalah sebuah tidakan yang tidak pada tempatnya, kehendak seseorang untuk melawan keadaan di waktu Allah telah menetapkan dirinya pada satu  kondisi tertentu pada waktu yang telah ditentukan baginya itu.

HANYA ORANG BODOH YANG MENUNDA KESEMPATAN BERAMAL

Artinya:
"Penundaan Anda untuk beramal karena menanti waktu senggang, merupakan sebuah tindakan bodoh yang timbul dari  kemauan nafsu."
Ketika seorang hamba disibukkan urusan dunia, sehingga menghalanginya untuk melakukan amal saleh, sementara ia menunda-nunda beramal menunggu waktu senggang, seraya berkata: "Ketika selesai dari kesibukan ini, barulah aku akan beramal." Padahal waktu senggang itu tidak kunjung datang. Karena sebelum kesibukan yang satu usai, kesibukan yang lain sudah menunggu untuk dikerjakan. Maka jadilah ia tidak memiliki kesempatan untuk beribadah dan beramal saleh.  
Sikap hidup semacam ini, merupakan ketololan yang timbul atas dorongan nafsu.
Sedangkan kebodohan itu, timbul disebabkan oleh tiga hal, yaitu:

  1. Mengutamakan kepentingan dunia daripada kepentingan akhirat. Sikap hidup memilih dunia dan melalaikan akhirat, bukanlah sikap hidup orang mukmin yang berakal sempurna. Karena tindakannya itu berlawanan dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Allah swt. berfirman: yang Artinya: "Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih  kekal. " (QS. Al-A'Ia: 16-17).
  2. Menunda-nunda beramal, karena menunggu waktu luang. Padahal kesempatan luang itu tidak kunjung datang, tetapi justru kematian yang lebih dulu datang menjemputnya, sehinga ia pun tidak jadi melakukan amal. Atau kesibukan urusan keduniaan itu tidak akan ada habis-habisnya. Karena sebelum kesibukan yang satu usai, kesibukan yang lain  sudah menunggu untuk dikerjakan. Maka jadilah ia tidak memiliki kesempatan untuk beribadah dan beramal saleh.
  3. Penundaan beramal menungu waktu luang, membuatnya kehilangan kesempatan untuk beramal dari waktu yang telah  ditentukan. Atau justru kemauan dan niatnya untuk beramal itu, menjadi turun dan melemah, sehingga ia menggunakan  waktu sengangnya itu hanya untuk beristirahat, bersantai menghemat energi buat mengerjakan kesibukan keduniaan yang sudah menunggunya. Adalah menjadi sebuah keharusan bagi seorang hamba bersegera melakukan amal saleh yang  dapat mendekatnya kepada Tuhan, tanpa menunda-nunda, sehingga membuatnya kehilangan kesempatan beribadah dan beramal, atau justru dia dikejutkan oleh datangnya kematian. 
Terhadap hal-hal yang dipandangnya sebagai penghalang dan perintang untuk beramal, ia haras pandai-pandai menepis dan menyingkirkannya.
Seorang penyair menyatakan:
Singsingkan lengan baju beramallah dengan sungguh-sungguh jangan buang-buang waktu karena ia terus melaju
berhenti sejenak sekalipun akan tergilas olehnya
ketika kesempatan datang di pagi hari
jangan tunggu sore hari
asah ketajaman pedang kemauan
jadilah seorang pahlawan.

JANGAN MEMAKSA MENUNTUT TERJADINYA PERUBAHAN SELAIN ATAS KEHENDAK ALLAH
"Janganlah Anda menuntut pada Allah, agar mengeluarkan Anda dari suatu keadaan pada keadaan yang lain. Apabila  Allah Ta 'ala telah menghendaki terjadinya perubahan pada diri Anda, tentu Ia akan mengalihkan Anda kepada keadaan yang baru, tanpa perlu mengeluarkan Anda dari keadaan (posisi) yang lama. "
Apabila seseorang berada dalam sebuah kondisi yang tidak sesuai dengan keinginanya, baik dalam masalah keagamaan maupun persoalan keduniaan. Janganlah serta merta keluar daripadanya atas kehendaknya sendiri, melawan ketetapan yang telah terjadi padanya saat itu, menuju pada sebuah kondisi yang belum ditampakkan oleh Allah akan kejelasan-nya. Sebagaimana telah dikemukan di depan: "Orang yang mencari hal baru yang belum jelas, dengan meninggalkan apa yang sudah dimilikinya, padahal Allah Ta'ala telah memilihkan baginya apa yang telah dimilikinya tersebut, pada waktu itu, maka apa yang dilakukan-nya.itu adalah sebuah tindakan bodoh."
Yang demikian itu dengan syarat sebagaimana tersebut di atas, bahwa di mana kondisi itu, merupakan perkara mubah dalam pandangan syariat Islam. Posisi dan kondisinya itu tidak membuatnya melawan perintah dan menerjang larangan  Allah.

Adalah menjadi keharusan baginya untuk tidak melawan sunnatulah secara alamiah yang terjadi pada dirinya atas ketetapan waktu, lalu menuntut kepada Tuhan agar mengeluarkannya dari keadaan di mana dia berada, pada sebuah  keadaan baru atas kemauannya sendiri.
Yang demikian itu, tidaklah baik baginya. Tetapi, seharusnya ia memiliki etika terhadap Allah yang telah memilihkan untuknya, dengan mengabaikan pilihan yang menjadi keinginannya sendiri. Seharusnya ia ineneriman keadaan apakah itu  pekerjaan atau kedudukan sebagai anugerah besar dari Allah yang haras disyukuri, dengan terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas kinerjanya. Dengan demikian ia akan merasakan kecintan atas iradah Allah, dengan tetap berada pada posisi-nya, karena hal itu atas kehendak Allah bukan atas kehendaknya lendiri. Ketika ia dapat menjalankan  pekerjaan atau ibadahnya dengan konsisten dan istiqamah, maka ketahuilah bahwa Allah benar-benar inemperhatikan prestasi Anda, sampai pada saatnya Allah akan menghendaki perubahan dan menempatkan Anda pada posisi yang terbaik bagi Anda, menurut pilihan-Nya. Apabila Allah yang menentukan pilihan Anda, maka Dialah yang mengurus dan mencukupi Anda. Renungkan hal ini dengan baik, semoga Allah memberikan petunjuk kepada Anda juga kita semua.

Diceritakan di dalam kitab Tanwir, konon ada seorang berkata: "Seandainya,tiap hari aku diberi dua potong roti, tentu aku akan meninggalkan segala bentuk kesibukan usaha keduniaan, aku akan bisa istirahan dan terbebas dari kelelahan ikhtiar."
Akhirnya, karena satu dan lain hal, ia dipenjara. Di dalam penjara itu, setiap hari ia mendapatkan dua potong roti.  
Yang demikian itu terjadi dalam waktu yang cukup lama, sehingga ia merasa jenuh dan tidak nyaman. Tetapi bukankah itu terjadi, atas kemauannya?
Pada suatu hari ia melakukan perenungan dan bermunajat kepada Allah, tiba-tiba terdengar suara: "Bukankah Anda telah meminta kepada Kami, agar tiap hari Anda mendapatkan dua potong roti? Tetapi Anda tidak meminta keselamatan  dan kesejahteraan kepada Kami. Permintaan Anda itu telah Kami perkenankan."
Segera ia beristighfar, memohon ampun kepada Allah atas kesalahan sikapnya itu. Ia kembali menyerahkan dirinya, sepenuhnya kepada Allah. Tiba-tiba, terdengar ada orang yang mengetuk pintu penjara. Ia pun segera bangkit mendekati pintu penjara. Sang penjaga membukakan pintu dan membebaskannya dari penjara.
Wahai orang yang beriman, ambillah pelajaran dari cerita tersebut. Janganlah Anda menuntut kepada Allah, agar mengeluarkan Anda dari suatu perkara, dan memasukkan Anda pada urusan yang lain, menurut keinginan Anda, ketika Anda merasakan perkara itu tidak sesuai dengan keinginan Anda. Karena yang demikian itu, merupakan sikap orang yang tidak memiliki etika baik kepada Allah.
Bersabarlah dengan kondisi yang terjadi pada diri Anda, janganlah Anda meminta keluar daripadanya atas dasar kemauan dan keinginan Anda sendiri. Sehingga ketika apa yang Anda inginkan itu terkabul, bukan ketenangan dan kenyamanan yang Anda dapatkan, tetapi justru sebaliknya yang terjadi. Betapa banyak orang yang meninggalkan sesuatu, lalu masuk pada yang lain untuk memperoleh kekayaan dan kesenangan, menurut pandangannya, tetapi justru kelelahan dan ketersiksaan yang dia dapatkan. Karena dia mendasarkan jalan hidupnya, inenurut pilihannya bukan atas pilihan Allah swt. Demikianlah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Athaillah di dalam kitab Tanwir.

DARI MA'RIFAT MEMASUKI HAKEKAT
Artinya:
"Kehendak kuat seorang salik (orang yang menempuh jalan menuju Allah), tidak hanya sampai kepada kema 'rifatan dengan terbukanya rahasia kegaiban baginya, melainkan hendaklah ia meneruskan panggilan suara hakikat yang memanggilnya. Sesungguhnya yang Anda cari sekarang telah ada di hadapan Anda. Teruskan, jangan berhenti di situ.  

Demikian pula ketika ia memandang keindahan alam secara lahiriah, hakikat alam itu menegurnya. Waspadalah sesungguhnya kami ini adalah fitnah, jangan membuat Anda terpedaya hingga menjadi kafir. " Bagi seorang hamba yang menempuh jalan menuju Allah, ia akan menyaksikan cahaya terbukanya rahasia-rahasia kegaiban, sehinga rahasia-rahasia yang bersifat misteri itu menjadi terlihat olehnya. Ketika ia berada dalam sebuah kondisi semacam itu, lalu ia hendak berhenti sampai di situ, karena merasa telah sampai pada puncak lujuan kema'rifatan. Maka terdengarlah seruan hakekat: "Ketahuilah sesungguhnya yang Anda cari telah ada di depan Anda, teruskan perjalanan dengan penuh kesungguhan dan kewaspadaan, jangan berhenti di situ." Dan ketika ia telah menyaksikan keindahan dan keelokan pemandangan yang dipertontonkan kepadanya, maka hakekat keindahan alam ciptaan itu, berseru: "Ketahuilah sesungguhnya kami (keindahan substansial hakekat alam ciptaan yang Anda saksikan) adalah fitnah, jangan sampai membuat Anda terpedaya, hingga menjadi kafir. Pejamkan kedua mata Anda dari keelokan pemandangan substansial yang Anda lihat itu, luruskan kemauan, tatap kedepan, teruskan perjalanan Anda menuju Allah Apabila Anda terkecoh oleh aneka ragam keindahan pemandangan itu, maka Anda akan terjatuh dan turunlah martabat Anda pada tingkat yang terendah. Selama himmah dan iradah masih ada teruskan meniti jalan itu, hingga sampai berjumpa ke hadhirat Ilahi.

Syekh Abu Hasan At-Tustari berkata dalam syairnya:
Teguhkan perjalanan menuju Tuhan jangan berpaling pada yang selain Dia jadihan zikir sebagai benteng perjalananmu pada setiap tingkatan yang telah kamu capai janganlah kamu berhenti disitu kuatkan perjalanan seraya memohon pertolongan-Nya terhadap keindahan dan keelokan pemandangan jangan membuat kamu terkecoh dan terpedaya olehnya.
Katakan, bahwa selain Allah bukanlah menjadi tujuan tidak keindahan dan keelokan yang dipertontonkan  tidak pula yang lainnya kecuali Allah swt. semata.

Dalam hubungannya dengan pernyataan Ibnu Athaillah tersebut, Ibnu Ibad berkata, aku ingin mengemukakan perkataan SayidAbu Hasan As-Sadzali yang begitu indah dan penting di sini, karena aku melihat banyak mengandung manfaat yang  bisa diambil. SayidAbu Hasan As-Sadzali berkata: "Apabila Anda ingin memperoleh, sebagaimana apa yang dicapai oleh para kekasih Allah (para wali), hendaklah Anda mengabaikan semua manusia, kecuali orang yang menunjukkan kepada Anda jalan menuju Allah, baik dengan isyarat yang benar, laku lampah yang teguh yang tidak bertentangan dengan Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasul (hadis). Berpalinglah dari kekejian dunia seluruhnya. Janganlah Anda menjadi orang yang berpaling dari sebagian dunia, agar diberi yang lainnya. Jadilah Anda sebagai hamba Allah yang menolak dan melawan musuh-Nya. Apabila Anda telah dapat melakukan dua hal ini dengan benar, yaitu berpaling dari manusia yang tidak membuat Anda semakin dekat kepada Allah dan bersikap zuhud terhadap dunia. Lalu tingkatkan kewaspadaan Anda, merasa iliawasi oleh Allah; tetap teguhlah dalam bertobat, beristighfar memohon ampun, buat bekal kembali pulang kehadhirat-Nya; tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum-Nya; dan kdnsisten dalam menjalankannya-(isliqamah).

Sebagai penafsiran dan penjelasan dari empat hal tersebut adalah, hendaklah Anda bersikap sebagai seorang hamba Allah, apa yang mesti dikerjakan dan yang hams ditinggalkan. Hati Anda hendaklah selalu merasa hadir ke hadhirat Allah, tidak melihat terhadap sesuatu pun selain, kepada-Nya. Ketika Anda dapat bersikap semacam ini, maka akan terdengar suara-suara kebenaran (Rabbani), melalui cahaya keagungan. Ketajaman pengawasan Allah yang selalu memantau membuat Anda tidak akan bisa terlepas dari pengawasan-Nya. Tidak ada barang sedikitpun dari diri dan sikap, bahkan gerak hati Anda yang tidak diketahui oleh Allah. Bukankah Anda telah mendengar firman Allah swt.:
Artinya:
"Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. " (QS. Al-Ahzab: 52).

Dari sini, Anda tentu merasa malu dan terdorong untuk bertobat secara sungguh-sungguh, dengan tetap menjaga hati. 
Kesungguhan Anda dalam bertobat secara benar betapa diri Anda yang masih berlumuran kesalahan dan aib, membuat Anda terus beristighfar memohon ampun dengan penuh kesadaran akan kembali kepada Allah. Sementara Anda masih melihat diri Anda dengan segala sifat yang masih penuh kekurangan dan cacat, membuat Anda berharap agar kiranya  berkenan tidak terbuka dengan terus berusaha meneladani sifat-sifat Allah, buat kembali pulang kehadhirat-Nya.  Dalam kondisi ini, terdengar seruan agar Anda patuh dan tunduk terhadap hukum-hukum-Nya, tidak menentangnya, lurus dan teguh dengan iradah-Nya serta menolak iradah Anda. Dan ketika Anda telah sampai pada sebuah kondisi yang sedemikian dekat dan intens bersama Allah, maka hampir-hampir Anda tidak dapat mendengar seorang pun di alam dunia ini. Karena Anda telah menjalin hubungan kemesraan dengan sang kekasih sejati.

Postingan populer dari blog ini

Ilmu Batin dengan Dzikir - Iradah - Istiqamah serta Malu

Mujahadah

HINDARI BERAMAL DEMI MENCARI POPULARITAS

Arti Kesehatanmu

Etika Bisnis