HINDARI BERAMAL DEMI MENCARI POPULARITAS

HINDARI BERAMAL DEMI MENCARI POPULARITAS

Artinya:
"Tanamlah wujud Anda di hutan belukar (di dalam tanah yang tidak dikenal), karena tidak akan tumbuh suatu tanaman pun, apabila tidak ditanam. Kalaupun tumbuh, maka tidak akan sempurna. "

Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi seorang murid daripada kemasyhuran dan popularitas. Karena yang demikian itu, merupakan luberuntungan nasib yang paling besar, di mana ia diperintahkan untuk meninggalkannya. Dia harus berjuang keras Untuk meninggalkan dan tidak mencari popularitas. Karena bagi seorang murid kemasyhuran, mencari kedudukan dan popularitas adalah berlawanan dengan tujuan Ibadah yang dijalankannya.
Ibrahim bin Adham berkata: Artinya:
"Tidaklah benar-benar ikhlas karena Allah orang yang menyukai kemasyhuran."
Sebagian ulama yang lain berkata: "Jalan kami ini, memang tidak pitntas dilalui, kecuali bagi kaum yang menyapu bersih kotoran ruh-i till niereka yang memang harus disingkirkan."
Ayyub As-Sakhtiani ra. berkata: "Sungguh, seorang hamba tidaklah hi n.u-benar ikhlas karena Allah, melainkan tidak mendapatkan ke-dudukan dan posisi strategis adalah menjadi kegembiraannya."
Seorang laki-laki berkata kepada Basyir bin Al-Harits: "Berwasiat-luli kepadaku." Harits memberikan wasiat kepadanya seraya berkata: Si nibunyikan sebutan baik Anda (jangan berbuat baik untuk mencari (topiilaritas) dan baguskanlah makanan Anda (dengan yang halal)."

Sebagian ulama yang lain berkata: "Aku tidak mengetahui seorang pun yang lebih suka dikenal, melainkan justru agamanya menjadi hilang dan ia pun menjadi dipermalukan.
Ada pula yang berkata: "Orang yang suka dikenal manusia (cinta kemasyhuran di kalangan masyarakat), maka dia tidak akan mendapatkan manisnya kehidupan akhirat."
Fudhail ra. berkata, telah sampai berita kepadaku bahwa Allah swt. berfirman, mengenai sebagian anugerah yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya: "Bukankah Aku telah memberikan kenik-matan kepada Anda? Bukankah Aku telah menutupi aib Anda? Dan bukankah Aku mengasingkan sebutan baik Anda?
Perkara-perkara yang menjadi refrensi pada kecintaan akan ke-masyhuran dan sebutan nama baik itu, merupakan perkara yang merusak keikhlasan seorang hamba dan berlawanan dengan derajat keikhlasan itu sendiri. Yang demikian itu, adakalanya menyebabkan berpalingnya pandangan manusia dari memandang dirinya, karena tidak adanya > keinginan untuk melihat amal yang dilakukannya.
Kecintaan akan kemasyhuran dan sebutan-sebutan baik di tengah-tengah masyarakat, jangan sampai ada pada diri seorang murid, melain¬kan hendaklah ia lebih menyukai keterasingan dan ketidak sukaan akan kemasyuhuran dan pujian-pujian yang menghanyutkan, di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Jika tidak demikian, maka dia tidak akan dapat melepaskan keinginan dan tujuan-tujuan yang membangkitkan kecenderungan hati makhluk terhadap amal yang di-perlihatkan olehnya kepada mereka. Keinginan-keinginan untuk diper-hatikan orang itu mendorong dirinya secara halus, sehingga membuat amalnya tercampuri unsur riya', sementara dirinya tidak memiliki kecerdasan untuk menyadari akan hal itu.
Sebagaimana yang akan diterangkan berkenan dengan perkataan Ibnu Athaillah, bahwa mungkin saja Anda kemasukan riya' dalam beramal agar dilihat makhluk padahal makhluk itu justru tidak mau melihat kepada Anda.
Sesuai dengan kadar kesurigguhan ketidak inginan Anda diketahui makhluk, maka menjadi semakin nyata maqom keikhlasan Anda. Sehingga dengan demikian Anda menjadi terbebas dari penglihatan akan keikhlasan Anda? Dan dengan begitu, menjadi jelas bagi Anda, betapa sulitnya melepaskan dari jerat-jerat bahaya riya', kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat dari Allah swt. Sesungguhnya berlaku 'khlas itu merupakan puncak kesulitan bagi setiap individu. Karena 'khlas itu, adalah sesuatu yang paling mulia.
Ditanyakan kepada Sahal bin Abdillah ra.: "Apakah sesuatu yang aling berat bagi nafsu itu?" Dia menjawab: "Ikhlas. Karena dalam eikhlasan itu, nafsu tidak memiliki bagian apapun."
Yusuf bin Husain ra. berkata: "Sesuatu yang paling mulia di dunia ni adalah keikhlasan. Betapa aku telah berjuang bersungguh-sungguh enyingkirkan riya' dari dalam hatiku, tetapi seolah-olah ia tumbuh lagi dalam hatiku dengan bentuk dan warna yang lain.
Syekh Abu Thalib Al-Makkiy ra. berkata: "Ikhlas bagi para ukhlishin (orang-orang yang ikhlas), adalah mengajarkan makhluk dari mu'amalahnya dengan Al-Khaliq. Makhluk pertama yang harus ikeluarkan dan disingkirkan keterlibatannya dalam bermu'amalah ngan Allah adalah nafsu."
Sedangkan ikhlas menurut para muhibbin (orang-orang yang inta kepada Allah) adalah hendaklah seseorang tidak beramal dengan tu amalpun karena nafsu. Karena jika ia beramal karena nafsu, aka ia akan mengharapkan ganti dan selalu menghiasi diri dengan enanti bagian, secara naluri.
Sementara ikhlas menurut ahli tauhid ialah mengeluarkan makhluk ari memandang kepada mereka di dalam setiap aktivitas atau dengan ata lain membebaskan setiap apa yang dikerjakan dari unsur karena anusia. Dan tidak merasa tenang dan nyaman bersama mereka.
Ketika seorang hamba telah mengsingkan dirinya, selalu bersikap wadhu' dan merendahkan diri kepada Allah secara terus menerus, ingga ada dan tidaknya makhluk baginya sama saja ketika beramal, unpa sedikitpun terpengaruh secara eksternal, tidak merasa sakit arena ulah mereka dan tidak merasa nyaman karena sanjungan. Dengan cmikian, maka jiwanya benar-benar menjadi bersih, hatinya tersinari h cahaya keikhlasan dan dia pun memperoleh derajat yang tinggi Ccara istimewa dari Tuhannya, serta berhasil memperoleh hakekat ecintaan yang sempurna. 
Yang demikian ini, merupakan maqom yang terpuji, di mana selanjutnya adalah maqom mukasyafat (terbukanya) rahasia-rahasia kegaiban. Barangsiapa yang keadaannya bersama Allah adalah kehinaan yang dicarinya, dan mendapatinya manis dihadapan-Nya. Sebagaimana orang sombong yang mencari kemulian dan merasakan merasakannya manis ketika ia mendapatkan kemuliaan itu. Ketika perasaan hina dihadapan Tuhan itu terlepas darinya sesaat saja, maka hatinya menjadi berubah karena perubahan keadaannya itu. Sebagaimana orang yang merasa sombong dengan kemulian, ketika kemuliaan itu terlepas dari-padanya sesaat saja, maka kehidupannya menjadi kenm, karena yang terakhir ini adalah warna kehidupan nafsu. Demikian menurut Syekh Abu Thalib.
Oleh sebab itu, seharusnya bagi seorang murid untuk menjatuh-kan pangkatnya, mengasingkan sebutan baiknya, dan mengorbankan perkara yang mubah untuk menjatuhkan akan pandangan tentang ke-baikan dirinya, serta berlari menghindari tempat-tempat kemasyhuran dari pandangan manusia. Sebagaimana kisah orang yang puasa secara terus menerus, di mana ketika sang raja mendengar akan dirinya, lalu raja itu datang kepadanya. Namun ketika ia mengetahui bahwa sang raja hendak datang kepadanya, maka di hadapan sang raja itu ia rae-ngambil semacam kdbis dan memakannya secara kasar. Ketika sang raja mengetahui keadaannya, maka ia menghina dan meremehkannya. Mengenai kisah ini, akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya pada perkataan pengarang: "Mungkin saja Anda kemasukan riya', sementara manusia tidak melihat kepada Anda."
Para imam ahli sufi ra. selalu memandang kedudukan sebagai penyakit yang selalu dihindari dan digantungkan di dalam hatinya. Sehingga dalam kontek ini, mereka sampai melakukan sesuatu yang dibenci di dalam zhahirnya syara'. Dan mereka memandangnya, bahwa hal itu adalah boleh (jaiz) bagi mereka. Hal demikian ini, sebagaimana kisah seorang laki-laki yang masuk pemandian, agar terlihat mencolok dia memakai pakaian kebanggaan manusia di atas pakaiannya dan berjalan layaknya orang kebingungan agar orang-orang mengira dirinya sebagai maling. Maka ketika orang-orang melihatnya, mereka menangkap dia dan melepas pakaian kebanggaan orang yang dipakai di atas pakaiannya itu. Sehingga dalam pandangan mereka ia dikenal sebagai pencuri pakaian.
Hal yang sama sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Yazid ra. mengenai kisah seorang Syahid yang menyuruh memangkas rambut kepada dan jenggotnya lalu mengenakan kalung yang aneh layaknya orang setengah gila. Bahkan dia memberi hadiah kepada orang menye-butnya sebagai manusia yang bertingkah seperti anak-anak dan men-ceritakan kondisinya itu pada setiap forum dan pertemuan-pertemuan. Mengenai kedua cerita tersebut telah begitu populer, sebagaimana yang juga disebutkan oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan yang lainnya.
Ketika diperbolehkap bagi orang yang kerongkongannya tersumbat sepotong makanan halal, lalu menuangkan seteguk khamar untuk me-mudahkan tertelannya makanan itu, jika tidak didapatkan yang lainnya. Padahal khamar adalah sesuatu yang haram secara qath'i (pasti). Diperbolehkannya hal semacam ini, ketika benar-benar jelas akan hal yang lebih baik, karena dengan begitu sisa kehidupannya akan tetap berlangsung dan menjadi lebih dekat kepada Allah swt.
Apabila seorang hamba menetapi jalan riyadhah semacam ini, maka nafsunya menjadi mati, sementara hatinya akan terus hidup dan dirinya menjadi begitu dekat kepada Tuhan. Dia pun akan memetik buah yang ditanamnya dengan penuh kesempurnaan. Begitulah buah dari akhlak keimanan yang memuaskan jiwanya, menjadi sifat yang melekat dan tak terpisahkan dari dirinya.
Yang demikian itu, merupakan buah hikmah yang telah ditumbuhkan oleh Allah di dalam hati para hamba-Nya yang bersikap tawadhu' dan merendahkan diri. Allah swt. berfirman:
Artinya:
"Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi
kabajikan yang banyak." (QS. Al-Baqarah: 269).
Isa as. berkata kepada para sahabatnya: "Dimanakah biji itu lumbuh?" Mereka menjawab: "Di tanah." Selanjutnya Isa as. berkata: "Demikian pula hikmah, ia tidak akan tumbuh, melainkan di dalam hati, laksana bumi."
Banyak hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. mengenai pujian ukan pengasingan diri, pencelaan kemasyhuran. Di antaranya hadis yang diriwayatkan dari Umamah ra. dari Nabi saw., beliau bersabda, sesungguhnya Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya semulia-mulia dari para wali-Ku dalam pandangan-Ku ialah orang mukmin yang ringan lagi miskin, perhatiannya terhadap shalat adalah sebaik-baik ibadah yang dilakukan pada Tuhannya. Ketaatannya tersembunyi, dia begitu hina dalam pandangan manusia dan keberadaannya sama sekali tidak diperhitungkan. Rizkinya adalah kemampuan menahan diri dengan keadaan ala kadarnya. Dan dengan kondisinya itu ia bersabar."
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: "Betapa banyak orang yang berpenampilan tak karuan (awut-awutan) berdebu dan berpakaian lusuh, membuat mata manusia tidak sudi melihatnya. Tetapi seandainya orang semacam ini bersumpah karena Allah, tentu akan diperkenankannya."
Mu'adz bin Jabal meriwayatkan dari Rasulullah saw., beliau bersabda:

Artinya:
"Sesungguhnya sedikit dari riya' sudah termasuk syirik. Sungguh orang yang memusuhi wali Allah berarti ia nyata-nyata melawan berperang kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang menyucikan diri (takwa) yang merahasiakan kebaikannya (tidak menyukai popularitas). Mereka ini adalah orang-orang yang apabila tidak ada, tidak ada yang merasa kehilangan. Apabila mereka hadir tidak pernah dipanggil dan tidak pula di¬kenal (tidak diperhatikah dan tidak pula dihiraukan akan keberadaannya). Hati mereka merupakan pelita hidayah. Mereka keluar dari setiap kegulitaan keasingan bumi. "
Abu Hurairah juga meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. engenai cerita tentang Uwais Al-Qarni, sebuah cerita langka namun mengandung bobot nilai pelajaran yang sangat penting. Ia berkata: "Ketika kami berada di sisi Rasulullah dalam sebuah halaqah (forum pertemuan) bersama para sahabat, tiba-tiba beliau bersabda:
Artinya:
"Sungguh, besuk akan ada seorang ahli surga yang shalat ber¬sama Anda semua."
Abu Hurairah berkata: "Aku sangat menginginkan agar kiranya akulah orang yang dimaksudkan oleh beliau itu. Maka pagi-pagi buta aku datang ke masjid dan shalat di belakang beliau. Aku tetap berdiam diri tinggal di masjid, hingga semua orang telah kembali pulang, tinggal aku dan Rasulullah saw. Tidak lama kami tinggal berdua bersama beliau, tiba-tiba datang seorang laki-laki berkulit hitam berpakaian lusuh dan bertambal-tambal. Dia datang seraya menguluran tangan dan berjabat tangan dengan Rasulullah saw. Kemudian ia berkata: 'Ya Rasulullah, sudilah kiranya baginda berdo'a untukku dengan syahadah.' Lalu Rasulullah saw. berdo'a untuknya dengan syahadah. Sementara aku dapatkan daripadanya semerbak aroma minyak kasturi." Selanjutnya aku berkata: "Ya Rasulullah, apakah dia, orangnya?" Beliau menjawab: "Ya, benar. Dia adalah seorang budak Bani Fulan." Aku berkata: "Wahai Nabi Allah, mengapa tidak baginda beli saja, lalu baginda bebaskan." Beliau bersabda: "Bagaimana mungkin aku berbuat begitu, sementara Allah hendak menjadikannya sebagai seorang raja di surga, wahai Abu Hurairah. Sesungguhnya, bagi penduduk surga itu juga memiliki raja dan pemimpin. Dan seorang laki-laki hitam ini tadi adalah seorang raja dan pemimpin penghuni surga." Sabda beliau selanjutnya:

Artinya:
"Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menyukai sebagian dari makhluk-Nya, yaitu orang-orang yang suci bersih lagi baik-baik, yang menyembunyikan kebaikan (tidak menyukai kemasyhuran), rambut kepalanya acak-acakan (awut-awutan), wajahnya berdebu, perutnya tahan lapar sekalipun dari yang halal. Mereka adalah orang-orang yang apabila meminta izin menghadap para penguasa tidak diperkenankan, ketika meminang wanita yang berada, tidak diterima dan tak ada yang mau dinikahi. Ketika mereka tidak ada tidak ada yang merasa kehilangan. Ketika ada mereka tidak pernah dipanggil (tidak diperhatikan). Ketika mereka muncul, kedatangan mereka tidaklah disukai. Ketika mereka sakit, tidak ada yang menjenguknya dan ketika mereka mati, tidak ada yang menghadiri dan menyaksikan:"
Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana kami bisa mengenali orang semcam itu dan adakah di antara kami orang yang termasuk dari mereka?"
Beliau menjawab: "Itulah Uwais Al-Qarni."
Mereka bertanya lagi: "Siapakah Uwais Al-Qarni itu?"
Beliau menjawab: "Yaitu, orang yang matanya berwarna biru, putih kemerah-merahannya, lebar antara kedua bahunya, sedang tingginya, bersahaja, teduh dan pendamai, janggutnyajatuh ke bawah mendekati dada, pandangannya tertuju ke tempat sujud, sisi kanannya bertumpu pada sisi kirinya, seraya membaca Al-Qur'an dan menangisi akan dirinya. Pakaiannya bersahaja dan lusuh terbuat dari bulu, begitu pula selendangnya. Dia tidak dikenal di bumi, tetapi amat terkenal di langit. Seandainya iabersumpah atas nama Allah, tentu diperkenankan sumpahnya. Perhatikan pula, bahwa di bawah pundak sebelah kirinya terdapat bintik putih mengkilap. Ketahuilah, bahwa pada hari kiamat nanti, ketika dikatakan kepada para hamba: 'Masuklah kalian ke dalam surga.' Namun kepada Uwais Al-Qarni dikatakan: 'Berhentilah, tunggu dulu! Berilah syafa'at, pada yang patut menerimanya.' Lalu ia memberi¬kan syafa'at (pertolongan) atas izin Allah swt. Wahai Umar dan Ali, apabila Anda menjumpainya, mohonlah kepadanya agar ia berkenan memohonkan ampun Anda berdua, niscaya Allah berkenan mengampuni Anda berdua."
Mengenai hikayat dan atsar berkenaan dengan pujian dan sanjungan terhadap orang yang tidak suka dikenal dan tidak menyukai kemasyhu¬ran masih begitu banyak disebutkan di dalam kitab-kitab para imam yang lain. Kami hanya menyebutkannya sebagian dan secara ringkas saja. Adalah menjadi keniscayaan bagi seorang murid untuk menelaah-nya dan mengambil pelajaran, seraya memohon sebaik-baik petunjuk Allah swt.
Adapun ungkapan pengarang (Ibnu Athaillah) yang menggunakan kata-kata ad-dafnu (makamkan), al-ardhu (bumi), an-nabat (tumbuh), merupakan bentu isti'arah dan keindahan gaya bahasa.

Postingan populer dari blog ini

Keagungan dan Keindahan Ilahi | Menundukan Diri Sendiri | Wasiat dari Wali Allah Syeh Abdul Qadir Al-Jailani

Ketika Anda Terhalang Mengenal Allah

Arti Kesehatanmu

Etika Bisnis