Sifat Orang Yang Arif
Sifat Orang Yang Arif : "Diantara tanda-tanda orang yang menggantungkan (mengandalkan) pada amal, ketika terjadi kesalahan, maka harapannya menjadi berkurang."
Menggantungkan atau menyandarkan diri kepada Allah merupakan sifat orang yang arif dan kuat akidahnya. Sementara orang yang bodoh adalah orang yang menggantungkan dirinya kepada yang selain Allah. Segalanya bergantung kepada selain-Nya, mengenai ilmu, aktivitas dan kekaryaan, serta baik buruk keadaannya, ia gantungkan pada yang selain Allah.
Orang-orang yang arif dan kuat imannya kepada Allah selalu berpegang teguh (istiqamah) kepada kekuasaan Allah. Mereka selalu menyaksikan kebenaran-Nya dari atas permadani hidupnya. Ia tidak dapat memutuskan hubungan dengan Allah karena telah menyaksikan kebesaran Allah dari hidupnya sendiri.
Apabila mereka tergelincir dalam kesalahan dan kelalaian, mereka sadar bahwa qadha dan takdir Allah memang berjalan pada dirinya, sebagaimana ketika terjadi ketaatan dan kebaktian pada dirinya. Sama sekali mereka tidak menyaksikan ketaatan dan kebaktian itu muncul dari diri mereka sendiri dan tidak pula melihat hal tersebut atas kemampuan dan kekuatannya. Karena ingatan akan Tuhan telah menguasai hati mereka, sehingga jiwa mereka menjadi tenang terhadap peristiwa takdir yang berjalan mengenai dirinya. Hati mereka terang di bawah terpaan cahaya ke-imanan kepada Allah yang begitu kuat.
Akan halnya kedua kondisi dan peristiwa yang mengenai dirinya tersebut, bagi mereka tiada bedanya, karena mereka telah tenggelam ke dalam lautan keimanan dan ketauhidan. Hal demikian telah menempatkan mereka pada sebuah kondisi keseimbangan antara segmen khauf (takut terhadap murka dan azab Allah) dan segmen raja' (harapan terhadap rahmat Allah).
Dengan ketakutan itu (khauf), menjadikan mereka tidak berkurang dalam menjauhi kemaksiatan. Dan terhadap kebajikan juga tindakan ihsan yang mereka lakukan, tidak membuat mereka kebesaran dalam sikap raja'nya.
Ibnu Ibad berkata bahwa majlis orang-orang arif yang eksis dalam berpegang teguh pada ketentuan dan hukum-hukum Allah, sungguh kekuasan dan pemeliharaan Allah selalu menyertai mereka, sehingga ketika muncul ketaatan dan kebaktian pada diri mereka, mereka tidak mengharapkan pahala atas ketaatannya itu, karena mereka tidak melihat adanya kekuatan untuk menjalankan kebaktian itu dari diri mereka sendiri, tetapi hal itu semata dari Allah. Tetapi ketika mereka terpeleset dalam suatu kesalahan, tetap berkesadaran bahwa hukuman bagi setiap kejahatan itu, setimpal dengan kejahatan yang dilakukannya.
Orang-orang yang arif tidak melihat pada yang selain Allah, baik ketika menghadapi kesulitan dan ujian yang berat maupun pada saat senang dan lapang. Eksistensi keberadaanya adalah atas kekuatan dan anugerah Allah, pandangannya terfokus kepada-Nya, ketakutannya hanya kepada Allah Yang Maha Besar yang sangat keras ancaman siksa-Nya, dan harapan yang menghiasi hatinya, karena keluasan rahmat dan janji pahala-Nya.
Sementara di lain pihak, pemaksaan dan penundukan nafsu di maksudkan dalam kerangka beramal dan melakukan kebaktian, dengan amal itu mereka berharap memperoleh bagian pahala yang bisa dijadikan pegangan dan membuat kondisi mereka menjadi tenang. Ketika mereka tergelincir dalam suatu kesalahan, dengan sebab itu harapannya menjadi berkurang, sebagaimana ketika melakukan ketaatan, maka mereka menjadikan ketaatan itu sebagai pegangan kuat yang bisa mengantarkan pada keselamatan. Bagi kelompok terakhir ini, masih bergantung pada sebab. Semuanya terjadi secara kausalitas dan sebab akibat.
Barangsiapa yang mendapati dirinya masih dalam tataran semacam ini, maka hendaklah ia mengenali dan menyadari akan tingkat dan kadarnya yang belum mencapai pada tingkat (maqom) khusus dan istimewa yang memiliki kedekatan secara intens kepada Allah. Tetapi ia masih termasuk dalam kategori golongan kanan (ash-habulyamin). Mengenai masalah ini akan diterangkan dalam pembicaaan Ibnu Athailallah berikutnya.
Syekh Abu Abdurrahman As-Silmi dan Hafizh Abu Na'im Al-Ashfahani menuturkan dari Yusuf bin Husain Ar-Razi ra., bahwa ia berkata, ada sebagian manusia menyatakan kepadaku seraya berkata: "Anda tidak akan dapat mencapai pada apa yang menjadi maksud dan keinginan Anda, kecuali dengan bertobat." Sebagai jawaban atas pertanyaan itu aku katakan, seandainya tobat itu datang menghampiriku, tentu aku tidak mengizinkannya. Aku hanya berharap dan memohon pada Tuhan agar menyelamatkan dan menjauhkan aku dari berbuat dosa.
Seandainya kebenaran (as-shidq) dan keikhlasan (al-ikhlas) itu merupakan dua sahaya bagiku, tentu aku akan menjualnya karena kezuhudanku padanya. Karena jika aku dalam pandangan Allah sebagai orang yang beruntung sebagaimana ketetapan yang ada di ilmul ghaib, tentu aku akan terhindar dari melakukan dosa dan kesalahan. Tetapi jika bagi Allah, garis hidupku adalah sebagai orang yang celaka dan terhina, tentu tobatku dan keikhlasan serta kebenaranku, tidak akan dapat mengantarkan aku menjadi orang yang beruntung.
Allah menciptakanku sebagai manusia, tanpa amal dan tidak pula penolong. Aku adalah milik Allah dan kepada-Nya akan kembali. Dia-lah yang memberikan petunjuk kepadaku untuk memeluk agama Islam sebagai agama yang diridhai-Nya.
Allah swt. Berfirman yang artinya :
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali-Imran: 85).
Oleh sebab itu, bergantung kepada anugerah dan kemuliaan Allah, bagiku lebih baik jika aku orang yang merdeka dan berakal, daripada bergantung pada amal perbuatanku dengan segala sifat kelemahan dan keterbatasanku. Karena membandingkan anugerah keutamaan dan kemuliaan-Nya dengan amal perbuatanku. sungguh teramat kecil dan tidak sebanding. Dan pengetahuanku terhadap anugerah dan keutamaan Allah sungguh tidaklah seberapa dan teramat minim sekali, tidak bisa menjangkaunya.
Aku katakan, cerita ini dan yang semacamnya kiranya dapat membuka pendengaran orang yang tidak memiliki hakekat, lalu ia mengingkari maknanya, atau ia mempercayai dan menerimanya serta memberikan tempat tcrsendiri bagi dirinya. Kedua kondisi ini, akan mengantarkan seseorang pada kekhawatiran dan bahaya. Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami dan melalui jalan ini, hendaklah ia bertakwa kepada Allah. Karena tentu ia akan berpaling dan mengabaikan keteranganku ini, sehingga ia juga akan berpaling dari orang-orang mulia dan para wali kekasih Allah.
Hal yang demikian itu, akan menjauhkan dirinya dari Allah swt. atau mcndorongnya untuk memberikan tempat pada nafsunya yang sangat tidak menguntungkan dan tidak dapat dipercaya, karena watak jahatnya yang selalu cendcrung pada kcjahatan yang sangat merugikan. Ketika seseorang tidak dapat menundukkan dan mengendalikan nafsunya, maka ia menjadi sangat rentan melakukan kejahatan, melanggar batas-balas agama, yang mcnimbulkan murka Allah swt. Hingga pada gilirannya dia akan bertindak bodoh, memasuki wilayah kafir Zindiq. Na'uudzu billaahi min dzaalik.